Senin, 23 Juni 2008

“ AYAT-AYAT CINTA: WARNING TANTANGAN DAKWAH BARU “

“ AYAT-AYAT CINTA: WARNING TANTANGAN DAKWAH BARU “ Oleh: team kajian islam anshorud da’wah ila kitabi was sunnati SPEKTAKULEEER!! Barangkali inilah kata yang pantas diselamatkan pada fenomena novel dan, terutama, film Ayat-Ayat Cinta. Dalam kurun waktu kurang dari dua bulan, jumlah penonton resmi di bioskop-bioskop sudah menembus angka 4 juta. Belum lagi yang menonton sendiri di rumah melalui VCD dan penonton-penonton yang memilih untuk membeli VCD bajakannya. Jumlahnya pasti berkali-kali lipat dari jumlah penonton di bioskop. Sepanjang sejarah perfilman di Indonesia, baru kali ini ada film Indonesia yang sangat spektakuler seperti itu. Jumlah penontonnya hanya bisa disaingi oleh film-film Hollywood dan Bollywood. Produser film ini, Manooj Punjabi, dalam sebuah wawancara dengan detik.com bahkan mengatakan bahwa sampai sepuluh tahun ke depan belum tentu akan ada lagi film se-spektakuler Ayat-Ayat Cinta ini. Kehebohan film ini pun sempat mampir dalam berbagai forum-forum percakapan, dari mulai yang paling resmi sampai di warung-warung kopi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla beserta jajarannya sampai harus menyempatkan diri menonton film ini. Mantan Presiden Habibie, jauh-jauh dari Jerman menyempatkan pulang ke Indonesia hanya untuk menonton film ini. Bahkan sejumlah politisi sengaja janjian untuk nonton bareng film ini. Milis-milis di Internet selama sebulan salah satu yang menjadi tema favorit untuk dibicarakan adalah film ini. Pandangannya seperti biasa: sebagian mengkritik habis dan yang lain memuji-muji setinggi langit. Dengan serta-merta, sountrack film yang dinyanyikan pelantun tembang-tembang pop asal Sumedang (JABAR), Rossa, inipun ikut terdongkrak popularitasnya. Betapa dianggap penting film ini, sampai-sampai Ketua Umum PP. Muhammadiyah, Prof. Dr. Din Samsuddin, ikut mempromosikan kepada umat untuk menontonnya. Untuk kasus ini bisa dipahami mengingat Hanung Bramantyo yang berasal dari keluarga besar Muhammadiyah di Yogya memilihnya menjadi penasihat masalah-masalah keagamaan untuk film ini. Namun, kesediaan Din menjadi penasihat untuk film ini di tengah berbagai kesibukannya mengisyaratkan bahwa film ini dihitungnya sangat penting. Memang akhirnya banyak juga yang mengkritik fil ini. Para penonton yang pernah membaca edisi novelnya banyak yang kecewa. Bayangan mereka tentang apa yang ada di dalam novel banyak yang tidak nyambung dengan film yang mereka tonton. Pesan-pesan Islam yang dikemas secara apik dan menjadi daya tarik tersendiri dalam edisi novel tidak tampak dalam film. Bahkan sebagian blogger (penulis blog pribadi di internet) ada yang menyebutkan bahwa film ini bukan film islami, apalagi disebut-sebut sebagai film dakwah. Film ini sebetulnya sama seperti film-film percintaan lainnya, hanya saja tokoh, latar, dan alurnya ada hubungannya dengan Islam, nuansa Islam membalut kisah percintaan dalam film ini. Namun demikian, apapun yang terjadi dengan film ini satu hal yang patut menjadi renungan bersama untuk gerakan dakwah kita di masa-masa yang akan datang, yaitu bahwa film dan tontonan elektronik lain sudah menjadi sesuatu yang sangat merasuk kehidupan masyarakat kita. Alat-alat elektronik itu hanyalah alat. Keberadaannya bisa dimanfaatkan oleh siapa saja. Ketika orang-orang yang tidak bermoral memegang dan menguasainya, maka sudah hampir bisa dipastikan alat ini dimanfaatkan untuk kebejatan moral mereka. Hanya satu yang mereka kejar: uang! Begitu pula sebaliknya. Kalau kenyataannya demikian, maka sudah saatnya lagi dakwah kita hanya berhenti sebatas mencaci keberadaan tayangan-tayangan di media elektronik ini. Dakwah kita memang harus ikut menyadarkan umat untuk bisa menyeleksi tayangan-tayangan yang tidak layak ditonton, terutama oleh anak-anak seperti tayangan yang mengajarkan materialisme, tayangan berbau pornografi, horor, dan kekerasan. Di samping itu, dakwah juga harus berani merebut ruang-ruang tayang dalam media-media elektronik ini agar yang dikonsumsi langsung oleh khalayak adalah peran-peran ilahiyah, bukah materialisme dan kebobrokan. Mungkin timbul pertanyaan, bukankah selama ini sudah banyak tayangan-tayangan ceramah keagamaan yang mengambil ruang dalam siaran-siaran televisi? Itu benar. Namun, harus dicatat bahwa dakwah melalui media elektronik tidak cukup dengan penyampaian pesan-pesan agama secara langsung. Cara ini sesekali dibutuhkan. Namun kalau sepanjang hari siaran televisi isinya adalah ceramah, maka hampir bisa dipastikn akan segera ditinggalkan penonton. Penonton itu butuh ” tontonan ” seperti film, sinetron, variety show, dan sebagainya. Oleh sebab itu, dakwah dengan memanfaatkan media elektonik berarti harus merambah dunia ” tontonan ” itu. Artinya pesan dakwah harus disampaikan melalui film, sinetron, variety show, dan semisalnya. Masalahnya kemudian apakah mungkin dakwah dicampur-adukkan dengan berbagai kemungkaran yang sering terjadi dalam tayangan-tayangan film dan televisi seperti orang mempertontonkan aurat, Ikhtilat (Campur baur) antara pria dan wanita, dan semisalnya. Atas dasar ini pula ada sebagian kalangan yang menganggap bahwa berdakwah melalui media film, sinetron, atau tontonan-tontanan lain semisalnya adalah ” mencampurkan hak dan bathil ” sehingga dianggap sebagai sesuatu yang tidak mungkin dilakukan. Di sinilah masalah harus kita pecahkan bersama dengan diawali niat baik dan prasangka yang baik pula. Pertama, kita harus melihat media-media elektonik ini sebagai peluang media dakwah yang sangat terbuka lebar dan belum banyak dijamah. Oleh sebab itu, terlebih dahulu kita harus melihat ini sebagai sesuatu yang harus dikuasai oleh aktivis-aktivis Muslim yang memilki concern terhadap dakwah Islam. Paling tidak, aktivis-aktivis Muslim harus bisa ambil bagian dalam dunia media ini. Kalau sejak semula sudah dipandang negatif dan tidak mungkin mengarahkan media elektronik menjadi alat dakwah, maka sampai kapan pun umat islam tidak akan pernah dapat menguasai publik penikmat media elektonik yang jumlahnya bermilyar-milyar orang mungkin lebih dari triliun orang di seluruh dunia. Kalau tidak jeli, bisa jadi ini adalah jebakan pihak Barat-Yahudi yang tidak ingin umat Islam berjaya. Kedua, kita memang harus memikirkan secara serius bagaimana formula yang baik agar pesan dakwah tidak disampaikan dengan cara yang bathil. Dalam hal ini, para aktivis dakwah bersama-sama dengan seniman dan praktisi yang memiliki perhatian tinggi terhadap dakwah harus berkreasi membuat model-model ” tontonan dakwah ” yang memenuhi kriteria syar’i yang diinginkan. Masalahnya, kalau tidak dimulai usaha-usaha ke arah sana tidak akan pernah terwujud. Oleh sebab itu, munculnya film Ayat-Ayat Cinta, Kun Fayakuun, dan semisalnya merupakan langkah awal yang baik. Namun, langkah jangan sampai berhenti di sana. Harus selalu terus dikembangkan kritik untuk mendapatkan formula ” tontonan dakwah ” yang paling baik dan ideal. Kita semua sebagai bagian dari umat pun harus ikut mendorong semakin banyaknya ” tontonan dakwah ” agar media elektronik benar-benar akan menjadi wasilah tersebarnya rahmat Islam di seluruh alam. Walloohu’ A’lam. Diambil dan disarikan dari Buletin Dakwah Jum’at At-Tajdid, Vol. 39/Tahun VI, 03 Jumadil Awwal 1429 H/09 Mei 2008 M dari Tulisan Tiar Anwar Bachtiar. Bila anda berminat berlangganan Buletin Dakwah Jum’at At-Tajdid Harga per eksp, Rp.200,- berlangganan min 50 eksp, pembayaran di muka atau melalui Rekening Bank Muamalat Indonesia No.305.06563.22 (atas nama Saefulloh) info lebih lanjut Hub Alamat Redaksi Buletin Dakwah Jum’at At-Tajdid: Jl. Johar Baru 1 No. 22 Jakarta 10560, Tlp. 081514393766. http://faishalalbantani.blogspot.com

Tidak ada komentar: