Senin, 23 Juni 2008
Memilih Sekolah dan Perguruan Tinggi untuk Anak
" Memilih Sekolah dan Perguruan Tinggi untuk Anak "
Oleh Hartono Ahmad Jaiz
Menjelang tahun ajaran baru, banyak orang tua yang sejak awal mencari-cari tahu, mana sekolah yang baik untuk anak-anaknya. Ada yang bertanya-tanya kepada sanak saudara, handai taulan, dan kenalan. Ada yang membuka-buka halaman iklan di majalah, koran, dan sebagainya. Ada juga yang bertanya kepada dukun, walau sudah diberitahu oleh para da’i bahwa bertanya ke dukun itu haram, bahkan shalatnya tak diterima selama 40 hari. Lebih dari itu, kalau datang ke dukun, lalu menanyakan sesuatu, kemudian mempercayainya maka ia telah tidak mempercayai wahyu yang dibawa oleh Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam.
Ilklan-iklan tentang sekolah atau tempat pendidikan pun bermunculan di mana-mana. Ada yang lewat media cetak formal, media elektronik, dan ada yang lewat slebaran. Bahkan spanduk, pamflet dan brosur-brosur disodorkan kepada masyarakat secara beramai-ramai di sana-sini. Semuanya menjanjikan ini dan itu, serba bagus, serba baik, serba tidak sesat, walau mungkin sekali justru punya misi penyesatan, dan menjerumuskan ke neraka.
Para orang tua masa kini tampaknya ditarik dari arah sana-sini untuk menyerahkan anak-anaknya ke sekolah yang diiklankan di mana-mana. Dari yang paling kecil untuk masuk TK (Taman Kanak-kanak) Nol Kecil, Nol Besar, SD/ Madrasah, SMP/ Tsanawiyah, SMU/ Aliyah, D2,D3, S1, S2, sampai yang paling tua ke S3; semuanya diiming-imingi kemudahan, fasilitas, dan jaminan mutu plus tidak sesat. Kata-kata “tidak sesat” memang tidak ditulis, tidak diucapkan, tetapi yang jelas semuanya tidak ada yang mengakui kesesatannya. Padahal, betapa banyak orang tua yang sudah capai-capai menyekolahkan anaknya, misalnya ke Ma’had Al-Zaitun di Indramayu Jawa Barat, ternyata harus menyesal dan mencabut kembali anaknya, karena adanya perubahan sikap anaknya yang ogah shalat berjama’ah, melawan ajaran Islam yang dulunya diajarkan orang tua sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan semacamnya. Karena memang Ma’had Al-Zaitun itu jelas didirikan oleh kelompok NII KW IX (Negara Islam Indonesia Komandemen Wilayah IX) yang fahamnya menyimpang lagi sesat. (Lihat buku Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, cetakan 18, tahun 2008).
Penyesatan dan Pemurtadan
Ada orang tua seperti Ade Armando –yang corak pemikirannya model JIL (Jaringan Islam Liberal) dan suka menulis di koran Republika—(waktu lalu, kini di Majalah Madania?) yang menjadi bangga tapi kebanggaan yang tidak pada tempatnya, setelah menyekolahkan anaknya kemudian anaknya menawar kepada bapaknya untuk pilih masuk Kristen saja. Ketika ayahnya menanyakannya, anak itu menjawab, di sekolahnya SD Paramadina ( Yayasan yang di antara tokohnya Dr Nurcholish Madjid, Dr Komaruddin Hidayat dan lainnya waktu lalu) di Pinggiran Jakarta (Parung Bogor) menampilkan sinterklas (salah satu simbol di Kristen) yang lucu. Sedang di Islam, mboseni (membosankan), alasannya, karena bedugnya berisik, dalam penampilan di sekolah itu. Salah satu orang tua yang bangga dengan anaknya yang ingin murtad itu adalah Ade Armando dan perasaannya itu dia tulis di koran Republika, bahkan mengharapkan agar sekolah model (pemurtadan) itu dijadikan percontohan.
Di samping iklan-iklan serta tulisan dan ocehan yang model-model membanggakan pemurtadan semacam itu, orang tua masih secara gencar dijerumuskan oleh penulis-penulis yang tidak bertanggung jawab dari segi keimanan Ummat Islam. Mereka gencar menyuarakan pemurtadan dengan cara-cara licik, di antaranya ditulis di kolom-kolom surat kabar kristenisasi, misalnya surat kabar Kompas.
Contoh nyata adalah tulisan Ulil Abshar Abdalla tokoh JIL (Jaringan Islam Liberal) dari Lakspedam NU di Kompas Senin 18 Nopember 2002 bulan Ramadhan 1423H yang berjudul Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam. Di antaranya Ulil Abshar Abdalla menulis: “Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non Islam, sudah tidak relevan lagi.” “Agama adalah urusan pribadi; sementara pengaturan kehidupan publik adalah sepenuhnya hasil kesepakatan masyarakat melalui prosedur demokrasi.” “Menurut saya, tidak ada yang disebut “hukum Tuhan” dalam pengertian seperti dipahami kebanyakan orang Islam. Misalnya, hukum Tuhan tentang pencurian, jual beli, pernikahan, pemerintahan, dan sebagainya.” “Menurut saya, Rasul Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang banyak kekurangannya), sekaligus panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah).” (lihat Kompas Senin 18 Nopember 2002).
Terhadap tulisan Ulil itu ada reaksi keras dari Ummat Islam. Di antaranya di Bandung ada pernyataan yang disampaikan kepada pers, (2/12/ 2002) dari “Ulama dan Ummat Islam Jabar, Jateng dan Jatim”. Tulisan Ulil itu menurut pernyataan tersebut dinilai telah menghina Alloh, Islam, dan Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam. Sesuai syari’at Islam, oknum yang menghina dan memutarbalikan diancam dengan hukuman mati. Penjelasan kepada pers di Bandung itu dihadiri Ketua Umum FUUI (Forum Ulama Ummat Islam) KH Athian Ali M Da’i, Ketua PPP Reformasi Jabar H Rizal Fadhillah SH, pengamat politik Herman Ibrahim dan sejumlah pimpinan Ponpes, menurut berita ‘detikcom’ yang ditulis M Munab Islah Ahyani dengan judul Ulil Abshar dinilai Hina Islam.
Kenyataan di masyarakat, sampai-sampai, mertua Ulil Abshar Abdalla sendiri, A. Mustofa Bisri tokoh NU menulis di Kompas, Rabu 04 Desember 2002 dengan judul: Menyegarkan Kembali Sikap Islam, Beberapa Kesalahan Ulil Abshar Abdalla. Tulisan sang mertua yang kiai ini diakhiri dengan ungkapan: “…saya tidak melihat tulisan Ulil kali ini dimaksudkan untuk mengutarakan pikiran, bahkan wacana sekalipun. Saya yakin kalau membaca lagi tulisannya, dia akan menyesal, minimal agak menyesal, atau saya mengharapkan begitu.”
Sehari sebelum artikelnya dimuat, Ulil Abshar Abdalla sempat mengemukakannya dalam Dialog Ramadhan di Masjid Kampus UGM (Universitas Gajah Mada) Jogjakarta. Saat itu sempat saya bantah, dan bahkan Ismail Yusanto juga membantahnya, sampai-sampai agar Ulil bertobat sebelum mati nggluntung, kata Isma’il. Saya (Hartono Ahmad Jaiz) katakan, “Menurut Al-Qur’an, apabila ada sesuatu yang diperselisihkan (hal yang tidak diatur secara tegas dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah) pun kita disuruh untuk kembali kepada Alloh dan Rasul-Nya. Suruhan ‘agar dikembalikan kepada Alloh dan Rasul-Nya’ itu ternyata orang Yahudi pun menyetujuinya, dalam Piagam Madinah, ayat 23. Apakah Anda yang Muslim malah tidak mau? Dan kenapa justru yang telah Alloh tetapkan lewat Al-Qur’an seperti hukum-hukum pernikahan, qishosh, hudud dan lainnya malah Anda mau kembalikan kepada kondisi dan situasi? Itu namanya terbalik,” kata saya.
Mengenai penulis-penulis yang menyesatkan, sering sekali penulis-penulis yang mengaku Islam, bahkan mengajar di perguruan tinggi Islam menjajakan tulisan yang berisi pemurtadan. Mislanya menggencarkan pemahaman pluralisme agama, menganggap semua agama sama, sejajar, paralel, masuk surga semua, hanya beda teknis. Lalu mereka membujuk para penyelenggara pendidikan, agar pendidikan agama di sekolah diubah menjadi teologi pluralitas, yang dalam bahasa gampangnya adalah pemurtadan atau kemusyrikan model baru. Dengan nyinyirnya mereka menjerumuskan para penyelenggara pendidikan dan para orang tua untuk mengikhlaskan anak-anaknya supaya ke neraka.
Lain lagi golongan-golongan yang sesat lagi menyesatkan. Mereka pandai membuat istilah-istilah, slogan-slogan, bahkan nama-nama yang menarik dan bisa membungkus kesesatannya. Ahmadiyah misalnya, menamakan markasnya dengan “Al-Mubarok” yang artinya “yang diberkahi” di Parung, pinggir Jakarta-Bogor. Itulah Ahmadiyah Qadyan yang disebut JAI (jemaat Ahmadiyah Indonesia. Kemudian Ahmadiyah lainnya membuat nama sekolahnya dengan nama PIRI (Perguruan Islam Republik Indonesia) di antaranya besar juga sekolahannya di Jogjakarta. Itulah Ahmadiyah Lahore atau GAI (Gerakan Ahmadiyah Indonesia). Dua-duanya, Ahmadiyah Qadyan (JAI) dan Ahmadiyah Lahore (GAI) adalah murtad semua alias kafir. Itu telah difatwakan oleh Mujamma’ Al-Fiqih Al-Islami OKI (Organisasi Konferensi Islam), Rabithah Alam Islami (Liga Dunia Islam), dan MUI (Majelis Ulama Indonesia).
Ahmadiyah Qadyan dan Ahmadiyah Lahore sama-sama murtad
Keputusan Muktamar II Mujamma’ al-Fiqh al-Islami (Akademi Fiqih Islam) di Jeddah, Desember 1985 M tentang Aliran Qadiyaniyah, antara lain menyatakan bahwa aliran Ahmadiyah yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi sesudah Nabi Muhammad dan menerima wahyu adalah murtad dan keluar dari Islam karena mengingkari ajaran Islam yang qath’i dan disepakati oleh seluruh ulama Islam bahwa Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir.Teks Keputusan tersebut adalah sebagai berikut:
إِنَّ مَاادَّعَاهُ مِيرْزَا غُلاَم أَحْمَد مِنَ النُّبُوَّةِ وّالرِّسَالَةِ وَنُزُوْلِ الْوَحْيِ عَلَيْهِ إِنْكَارٌ صَرِيْحٌ لِمَا ثَبَتَ مِنَ الدِّيْنِ بِالضَّرُوْرَةِ ثُبُوْتًا قَطْعِيًّا يَقِيْنِيًّا مِنْ خَتْمِ الرِّسَالَةِ وَالنُّبُوَّةِ بِسَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ، وَأَنَّهُ لاَيَنْزِلُ وَحْيٌ عَلَى أَحَدٍ بَعْدَهُ، وَهذِهِ الدَّعْوَى مِنْ مِيرْزَا غُلاَم أَحْمَدَ تَجْعَلُهُ وَسَائِرَ مَنْ يُوَافِقُوْنَهُ عَلَيْهَا مُرْتَدِّيْنَ خَارِجِيْنَ عَنِ اْلإِسْلاَمِ، وَأَمَّا الَّلاهُوْرِيَّةُ فَإِنَّهُمْ كَالْقَادِيَانِيَّةِ فِي الْحُكْمِ عَلَيْهِمْ بِالرِّدَّةِ، بِالرَّغْمِ مِنْ وَصْفِهِمْ مِيرْزَا غُلاَم أَحْمَدَ بِأَنَّهُ ظِلٌّ وِبُرُوْزٌ لِنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ.
“Sesungguhnya apa yang diklaim Mirza Ghulam Ahmad tentang kenabian dirinya, tentang risalah yang diembannya dan tentang turunnya wahyu kepada dirinya adalah sebuah pengingkaran yang tegas terhadap ajaran agama yang sudah diketahui kebenarannya secara qath’i (pasti) dan meyakinkan dalam ajaran Islam, yaitu bahwa Muhammad Rasulullah adalah Nabi dan Rasul terakhir dan tidak akan ada lagi wahyu yang akan diturunkan kepada seorangpun setelah itu. Keyakinan seperti yang diajarkan Mirza Ghulam Ahmad tersebut membuat dia sendiri dan pegikutnya menjadi murtad, keluar dari agama Islam. Aliran Qadyaniyah dan Aliran Lahoriyah adalah sama, meskipun aliran yang disebut terakhir (Lahoriyah) meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad hanyalah sebagai bayang-bayang dan perpanjangan dari Nabi Muhammad SAW”. (Keputusan Mujamma’ al-Fiqh al-Islami –Akademi Fiqih Islam– Organisasi Konferensi Islam (OKI) Nomor 4 (4/2) dalam Muktamar II di Jeddah, Arab Saudi, pada tanggal 10-16 Rabi’ al-Tsani 1406 H / 22-28 Desember 1985 M).
Permainan nama ataupun slogan
Kembali ke masalah nama-nama yang nampak “Islami” memang tampaknya merupakan salah satu jalan untuk mengelabui masyarakat. Jaringan Islam Liberal (JIL) pun membuat slogan, “Islam yang membebaskan”, seakan Islam yang benar, yang anti pemurtadan adalah membelenggu. Syukurlah istilah itu ditimpa istilah baru lagi dengan website tandingan yang slogannya, “Islam yang membebaskan dari sistem kekufuran”.
Permainan nama untuk memasarkan diri sambil menutupi kesesatannya, rupanya ada biangnya, yaitu LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia). Tadinya bernama Lemkari yang dilarang karena kesesatannya, setelah ganti nama dari Darul Hadits dan Islam Jama’ah yang semuanya itu adalah dilarang pemerintah. Akhirnya mereka memilih ganti nama dengan LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia). Padahal justru sebenarnya adalah lembaga propaganda pengkafiran terhadap Ummat Islam. Karena setiap orang Islam yang bukan golongan LDII mereka anggap sebagai kafir dan najis. Mereka ini juga mendirikan pesantren, tentu saja meraih anak didik dari para orang tua. Kalau sampai orang tua memasukkan anaknya ke pesantren LDII atau membolehkan anaknya ikut pengajian LDII, maka resikonya, apabila orang tua tidak mau ikut masuk ke LDII maka dianggap najis pula oleh anaknya itu. Dan ketika orang tua itu meninggal dunia, maka si anak tidak akan mau mensholatinya. Kalau toh mau mensholatinya, maka tanpa wudhu sebelumnya, disengaja memang hanya untuk pura-pura mensholati. (Lihat buku-buku LPPI Jakarta tentang sesatnya LDII).
Orang-orang Islam yang di luar jam’ahnya dinyatakan sebagai:
n Orang kafir
n musuh Alloh
n musuh orang iman
n calon ahli neraka
n tidak boleh dikasihani. Di antaranya ditulis:
1. Dalam Makalah LDII berjudul Pentingnya Pembinaan Generasi Muda Jama’ah dengan kode H/ 97, halaman 8, berbunyi: “Dan dalam nasehat supaya ditekankan bahwa bagaimanapun juga cantiknya dan gantengnya orang-orang di luar jama’ah, mereka itu adalah orang kafir, musuh Allah, musuh orang iman calon ahli neraka, yang tidak boleh dikasihi,”
2. Untuk menyikapi orang di luar jama’ah LDII yang telah dianggap kafir itu dikemukakan ayat yang sebenarnya memang untuk orang kafir, tetapi di makalah itu untuk menegaskan orang di luar jama’ah LDII adalah kafir, dan larangan menikah dengan orang selain jama’ah LDII. Maka ditulis di baris selanjutnya:
“…ingatlah firman Alloh:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ . سورة النساء 144
“Hai orang orang iman jangan menjadikan kamu kekasih pada orang-orang kafir yakni selain orang iman.”
Dan diberi dorongan bahwa ternyata didalam jama’ah masih banyak sekali perawan-perawan, rondo-rondo yang cantik, yang barokah yang siap dinikahi dan banyak pula joko-joko, dudo-dudo yang ganteng dan tidak kalah gagahnya daripada orang-orang luar jama’ah. (Makalah LDII berjudul Pentingnya Pembinaan Generasi Muda Jama’ah, h/97, halaman 9).
Ahmadiyah, LDII dan sebagainya
Di MUI (Majelis Ulama Indonesia), LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) itu masih dianggap aliran sesat karena dianggap sebagai reinkarnasi Islam Jama’ah. Islam Jamaah sudah ada fatwa tentang kesesatannya. Di Munas MUI ke-7, LDII dipersamakan dengan Ahmadiyah. Memang bukan di dalam fatwa, namun dalam rekomendasi MUI tentang aliran sesat. Di mana disebutkan di situ, Ahmadiyah dan LDII. (KH Ma’ruf Amin, Ketua Komisi Fatwa MUI, Majalah Sabili, Jakarta, No 23 Th XIII, 1 Juni 2006/ 20 Jumadil Awal 1427, halaman 9).
MUI dalam Musyawarah Nasional VII di Jakarta, 21-29 Juli 2005, merekomendasikan bahwa aliran sesat seperti Ahmadiyah, LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) dan sebagainya agar ditindak tegas dan dibubarkan oleh pemerintah karena sangat meresahkan masyarakat. Bunyi teks rekomendasi itu sebagai berikut:
“Ajaran Sesat dan Pendangkalan Aqidah. MUI mendesak Pemerintah untuk bertindak tegas terhadap munculnya berbagai ajaran sesat yang menyimpang dari ajaran Islam, dan membubarkannya, karena sangat meresahkan masyarakat, seperti Ahmadiyah, Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), dan sebagainya. MUI supaya melakukan kajian secara kritis terhadap faham Islam Liberal dan sejenisnya, yang berdampak terhadap pendangkalan aqidah, dan segera menetapkan fatwa tentang keberadaan faham tersebut. Kepengurusan MUI hendaknya bersih dari unsur aliran sesat dan faham yang dapat mendangkalkan aqidah. Mendesak kepada pemerintah untuk mengaktifkan Bakor PAKEM dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya baik di tingkat pusat maupun daerah.” (Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia, Tahun 2005, halaman 90, Rekomendasi MUI poin 7, Ajaran Sesat dan Pendangkalan Aqidah).
Ahmadiyah ataupun LDII sama-sama mengkafirkan orang Muslim, hingga wanita Ahmadiyah atau LDII tidak boleh dinikahi oleh orang Islam (yang bukan golongan mereka). Ini pada hakekatnya adalah membuat syari’at baru, mirip dengan nabi palsu, Musailamah Al-Kaddzab yang diserang oleh Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq dengan 10.000 tentara yang dipimpin panglima Khalid bin Walid, hingga nabi palsu itu tewas bersama 10 ribuan pengikutnya yang murtad. Sedang sisanya yang masih hidup dari jumlah pengikut nabi palsu 40 ribu orang itu kemudian masuk Islam lagi setelah yang 10-an ribu orang murtad pengikut nabi palsu itu jadi bangkai di Kebun Bangkai atas serangan Muslimin.
Sekolah dan misinya
Sekolah-sekolah lain yang tampaknya tidak sesat pun masing-masing punya misi. Ada misi yang masih dalam kebenaran, dan ada pula yang sudah tidak mempedulikan kebenaran. Kalau sekolah itu berlabel Islam, atau dari oraganisasi Islam, atau di bawah lembaga Islam pun, setelah diketahui bahwa itu tidak termasuk dalam aliran sesat, masih perlu dilihat pula.. Apakah mereka itu teguh dalam mendidik murid-murid/ mahasiswanya dengan Islam yang benar. Apakah memang diterapkan shalat berjama’ah, berpakaian muslim/ muslimah, dijaga pergaulan antara lelaki dan perempuan, atau tidak. Kalau satu sekolah/ pesantren/ perguruan tinggi sudah ragu-ragu dalam menerapkan peraturan tentang pakaian muslim/ muslimah, itu pertanda misi Islamnya setengah-setengah. Dalih apapun yang mereka kemukakan, sudah bisa dibaca bahwa Islam dianggap lebih rendah dibanding duit dan semacamnya. Walaupun itu sekolah unggulan, terkemuka, dan sangat banyak muridnya, namun itu jelas mendidik untuk ragu-ragu, bahkan agar munafik dalam ber-Islam. Biar dari luar masih digolongkan Islam, namun tidak disebut fanatik oleh orang yang anti Islam. Begitulah kira-kira arah kemunafikannya.
Sekolah-sekolah negeri/ umum yang memang justru sebagian pengelolanya ada yang menggunakan kesempatan untuk memusuhi Islam, selayaknya tidak laku di negeri Muslim ini. Sekolah-sekolah negeri/ umum sekarang sudah banyak yang kalah bersaing dengan sekolah-sekolah swasta. Apabila sekolah negeri/ umum tidak memenuhi tuntutan masyarakat yang menginginkan pendidikan yang Islami, maka kemungkinan besar akan makin ditinggalkan oleh masyarakat. Mereka akan lebih pilih sekolah swasta walaupun mungkin biayanya lebih tinggi, asal lebih Islami, pergaulan lelaki perempuan tidak bebas, tidak tawuran, tidak terkena narkoba, dan tidak jadi preman-preman berbaju sekolah.
Dilema menyekolahkan anak masa kini, mereka yang menginginkan anaknya agar jadi ulama yang sholih atau sholihah, tahu-tahu kalau salah tempat pendidikannya justru jadi pentolan aliran sesat, atau justru jadi liberal, mementingkan filsafat, dan oke-oke saja untuk maju bersama dengan barisan pemurtadan, dan jadi tukang demo untuk membela kekafiran dan kesesatan. Contoh nyata, kelompok yang menyebut diri mereka AKKBB dikenal berdemo di Monas Jakarta 1 Juni 2008 untuk membela kafirin Ahmadiyah.
Demikian pula yang ingin anaknya agar jadi ilmuwan yang tangguh, kalau salah dalam memilih sekolahan, tahu-tahu terpengaruh oleh kebiasaan tawuran, terkena narkoba, pergaulan bebas lelaki perempuan, dan jauh dari agama, bahkan anti Islam.
Berupaya memilih tempat pendidikan anak yang terbebas dari pemurtadan, kesesatan, kemunafikan, kemunkaran, dan pergaulan bebas, adalah wajib bagi para orang tua yang akan menyekolahkan atau menguliahkan anak-anaknya, bahkan juga diri sendiri ketika mau berkuliah. Di samping itu perlu disertai do’a, bermunajat kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala, agar ditunjuki jalan yang benar dan diridhoi-Nya. Kalau tidak, maka berarti orang tua pada hakekatnya adalah membiarkan anaknya untuk diyahudikan atau dinasranikan atas biaya dari orang tua itu sendiri atau atas biaya dan susah payah diri sendiri. Betapa ruginya. (dimodifikasi dari buku Ada Pemurtadan di IAIN dan lainnya).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar