Rabu, 25 Juni 2008
Fatwa mengenai Salafiyyun Ma'zun
Tulisan ini dikumpulkan oleh: Al-Ustadz Abu Hanifah Muhammad Faishal alBantani al-Jawy bin Shalih Abu Ramadhan
" Wajib Mengikuti Salaf "; Bukan Membentuk Golongan yang Dinamakan “As-Salafiyyun”
Oleh: Al-‘Allamah asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahulloh
Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang hidup setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku.”
Hadits ini memberi arti bahwa apabila muncul banyak golongan di tengah-tengah umat, maka jangan berafiliasi kepada satu golongan pun. Dulu muncul sekte-sekte, seperti Khawarij, Mu’tazilah, Jahmiyyah, Syi’ah, bahkan Rafidhah. Lalu, akhir-akhir ini muncul Ikhwaniyyun, Salafiyyun, Tablighiyyun, dan kelompok lain yang semisal.
Letakkanlah semua kelompok ini di samping kiri dan teruslah melihat ke depan, yaitu jalan yang ditunjukkan oleh Nabi saw, “Hendaklah kalian berpegang teguh terhadap sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin.”
Tidak diragukan, wajib atas semua kaum Muslimin untuk mengambil paham salaf; bukan berafiliasi pada golongan tertentu yang disebut “As-Salafiyyun”. Yang wajib adalah hendaknya umat Islam mengambil paham salafus shalih; bukan membentuk golongan yang dinamakan “As-Salafiyyun”. Berhati-hatilah terhadap perpecahan! Ada jalan salaf; ada pula golongan yang disebut “As-Salafiyyun”. Apa yang wajib? Mengikuti salaf!
Mengapa? Karena ikhwah As-Salafiyyun adalah kelompok paling dekat dengan kebenaran. Tidak diragukan. Akan tetapi, permasalahan mereka seperti kelompok lainnya. Sebagian individu kelompok ini saling menyesat-nyesatkan, membid’ahkan, dan memfasikkan. Kami tidak mengingkari hal ini apabila benar mereka layak untuk itu. Akan tetapi, kami mengingkari terapi bid’ah-bid’ah tersebut dengan cara ini. Yang wajib adalah pemimpin-pemimpin kelompok ini berkumpul. Hendaknya mereka mengatakan, “Di antara kita ada Kitabullah ‘Azza wa Jalla dan Sunnah Rasul-Nya. Marilah kita berhukum pada keduanya; bukan pada hawa nafsu, pendapat-pendapat, dan tidak pula kepada Fulan dan Fulan.” Setiap orang bisa salah dan bisa benar meski seberapa banyak ilmu dan ibadahnya. Akan tetapi, jaminan kema’shuman hanya pada agama Islam.
Nabi saw memberikan petunjuk dalam hadits ini untuk menempuh jalan yang menyelamatkan manusia; bukan berafiliasi kepada kelompok apa pun, kecuali kepada jalan salafus shalih, yaitu sunnah Nabi saw dan para Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk.
Sumber : http://www.islamgold.com/view.php?gid=2&rid=33
" Peringatan Syaikh Muhadist Muhammad Nashiruddin Al-Albani Rahimahulloh dari Sikap Ta’ashub Terhadap Figur dan Dampak dari Perpecahan "
Saya sangat menyayangkan ketika datang kepadaku salah seorang ikhwan Salafi dari sana. Dia mengunjungiku di sini (Yordania) dan ikut bergabung dengan sebagian saudara-saudara kita yang bermajelis. Ikhwan itu berasal dari jamaah Salafiyah di Hijaz. Barangkali kebanyakan jamaah dari Hijaz terbagi menjadi dua kelompok seperti yang saya sebutkan di sana, yaitu di Abu Dhabi. Jamaah yang bersama kami tidak menyibukkan diri dengan urusan politik. Namun,ironisnya mereka menyerang Salman dan Safar dengan sengit sekali serta berprasangka buruk kepada kedua orang ini. Saya telah berdiskusi dengan mereka—orang-orang yang berprasangka buruk tersebut—dan saya ingkari mereka dengan keras bahwa sikap ini tidak boleh. Kita wajib mencari kemungkinan lain apabila kita dapati dari mereka sebagian pendapat yang menyelisihi perkara yang telah kita ketahui sebagai jamaah—misalnya. Dakwah salafiyyah tidak mengenal ta’ashub terhadap figure atau pendapat tertentu. Akan tetapi, dakwah salafiyyah senantiasa mengikuti hujjah, bukti, dan dalil. Inilah sikapku hingga saat ini. Sebelum saya sendiri berhubungan dengan dua orang yang disebutkan tadi (Syaikh DR.Salman bin Fadh Al-Audah dan Syaikh Safar al-Hawali), mereka bersama kita dalam berdakwah. Akan tetapi, terkadang mereka memiliki pandangan lain dalam beberapa aspek yang tidak diikuti oleh ikhwan lainnya. Terkadang pula mereka memiliki sebagian ijtihad pada sebagian masalah furu’ yang menjadi objek pandangan mereka. Kebenaran terkadang ada pada mereka dan terkadang juga ada pada selain mereka. Maka dari itu, tidak selayaknya apabila perbedaan dalam sebagian masalah furu’ini menjadi sebab perpecahan. Kita semua mengetahui bahwa para sahabat Nabi saw yang disebutkan oleh Al-Qur’an Al-Karim sebagai sebaik-baik umat yang diutus kepada manusia pun juga pernah berbeda pendapat dalam sebagian masalah. Apabila kasus itu terjadi pada hari ini, pasti akan terpecahlah barisan disebutkan oleh sikap ta’ashub serta tidak mau kembali kepada ushul (prinsip). Inilah pendapatku mengenai masalah ini.
Sumber: http://www.islamgold.com/view.php?gid=2&rid=25
" Fatwa Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin Hafidzahulloh
Mengenai Kesesatan Syaikh Sayyid Quthub dan Syaikh Hasan Al-Banna "
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya, “Sebagian pemuda membid’ahkan Syaikh Sayyid Quthub dan melarang untuk membaca kitab-kitabnya. Mereka juga mengucapkan perkataan yang sama terhadap Hasan Al-Banna dan menuduh sebagian ulama sebagai Khawarij. Alasan ucapan mereka ini adalah untuk menjelaskan kesalahan kepada umat manusia. Padahal hingga sekarang, mereka ini baru menuntut ilmu. Saya mengharap jawaban dari Anda agar lenyap keraguan pada kami dan orang-orang selain kami agar perkara ini tidak menjadi kebiasaan umum!”
Beliau menjawab: “Segala puji hanyalah milik Allah semata. Wa ba’du. Tidak boleh membid’ahkan dan memfasikkan kaum Muslimin berdasarkan sabda Nabi saw, “Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya, ‘Hai musuh Allah’ padahal kenyataannya tidak demikian, maka ucapan itu akan kembali kepadanya.” “Siapa yang mengkafirkan seorang muslim, maka tuduhan itu akan menimpa salah satu di antara keduanya.” “Ada seseorang yang melewati orang lain yang berbuat dosa. Lalu dia mengatakan, ‘Demi Allah! Allah tidak akan mengampunimu. Allah berfirman, ‘Siapa orangnya yang bersumpah bahwa Aku tidak mengampuni Fulan? Sesungguhnya Aku mengampuninya dan Aku hapus amal perbuatanmu.’.”
Saya katakan bahwa sesungguhnya Sayyid Quthub dan Hasan Al-Banna termasuk ulama kaum Muslimin dan termasuk juga pembela dakwah. Dengan perantara keduanya, Allah telah menolong dan memberikan hidayah banyak orang dengan dakwah keduanya. Tidak dapat diingkari, mereka memiliki usaha yang sungguh-sungguh. Oleh karena itulah Syaikh Abdul Aziz bin Bazz memintakan grasi untuk Sayyid Quthub ketika ditetapkan hukuman mati atasnya. Akan tetapi, permintaan grasi itu tidak dikabulkan oleh Presiden Jamal Abdun Nashir—semoga Allah memberian apa yang berhak diterima. Ketika keduanya terbunuh, masing-masing dari keduanya dinyatakan sebagai syahid karena dibunuh secara zhalim. Orang-orangpun bersaksi atas kejadian itu. Tanpa dapat dipungkiri, berita kejadian itu disebarkan dalam berbagai tulisan dan buku. Para ulama pun kemudian menyambut kitab-kitab keduanya. Allah telah memberikan manfaat melalui kedua tokoh itu. Sejak lebih dari dua puluh tahun, tidak seorang pun menuduh negatif terhadap keduanya. Banyak para ulama salaf juga mengalami kejadian seperti yang menimpa Sayyid Quthub dan Hasan Al-Banna. Di antara mereka adalah An-Nawawi, As-Suyuthi, Ibnul Jauzi, Ibnu Athiyyah, Al-Khithabi, Al-Qisthalani, dan masih banyak yang lainnya.
Saya telah membaca buku yang ditulis oleh Syaikh Rabi’ Al-Madkhali dalam membantah Sayyid Quthub. Saya lihat, dia (Syaikh Rabi’) membuat judul-judul yang sebenarnya tidak ada pada Sayyid Quthub. Lalu, Syaikh Bakar Abu Zaid hafizhuhullah membantah buku tersebut. Demikian juga, Syaikh Rabi’ menyerang Syaikh Abdurrahman (Abdul Khalik) dan menuduh perkataannya banyak kesalahan yang menyesatkan, padahal tanpa dapat diingkari keduanya cukup lama bersahabat.
Disalin dari buku “Apa Beda Salaf dengan Salafi” & diterjemahkan dari : http://www.islamgold.com/view.php?gid=7&rid=109
“ Nasihat Wajibnya Husnuzhan Kepada Para Da’I dan Ulama “
(Fatwa Al-Allamah asy-Syaikh Al-Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz Rahimahulloh)
Wajib bagi para penuntut ilmu dan ahli ilmu untuk senantiasa berhusnuzhan kepada saudara-saudaranya; para ulama. Wajib pula atas mereka untuk berbicara dengan baik dan menghindari perkataan yang buruk. Para dai yang menyeru kepada Allah memiliki hak agung di tengah-tengah masyarakat. Demikian juga, para ulama memiliki hak agung di tengah-tengah masyarakat. Wajib membantu tugas mereka dengan kata-kata yang baik, cara yang baik, dan prasangka yang baik lagi bersih; tidak dengan bengis dan kaasar serta mencari-cari kesalahan dan menyebarluaskannya agar orang-orang menjauhi si Fulan dan si Fulan. Seorang penuntut ilmu dan seorang penanya wajib meniatkan hatinya untuk kebaikan dan meniatkan untuk mencari manfaat serta bertanya mengenai sesuatu yang memang penting baginya. Apabila dia menjumpai kesalahan atau kesamaran, maka hendaknya dia bertanya dengan ramah, bijak, dan niat yang baik hingga lenyap kesamaran tersebut.
Setiap orang bisa salah bisa benar. Tidak ada manusia yang ma’shum selain para rasul ‘alaihimush shalatu wassalam. Saudara-saudara kita, para dai di negeri ini—kerajaan Saudi Arabia; mereka memiliki hak pada masyarakat agar dibantu dalam kebaikan dan agar pula selalu disikapi dengan husnuzhan. Apabila ada dai yang salah, maka harus dijelaskan kesalahannya dengan cara yang baik dan saling memahami dengan niat memberikan manfaat; bukan dengan niat mencemarkankan nama baik dan menyebarkan aibnya.
Ada sebagian orang yang menulis bulletin maupun article tentang sebagian dai. Artikel tersebut sangat buruk. Tidak pantas seorang penuntut ilmu menulisnya. Sebab, dai tersebut salah dalam ucapannya atau diduga salah dalam ucapannya. Tidak pantas menggunakan cara tulisan buruk itu. Seorang penuntut ilmu yang menginginkan kebaikan hendaknya menanyakan sesuatu yang samar baginya itu degan cara yang baik.
Para da’I tidak ma’shum; baik itu para pengajar maupun penceramah; baik saat ceramah maupun saat seminar. Di antara contoh kejadian tersebut pada hari ini atau pada hari kemarin adalah apa yang dilakukan terhadap sebagian dai, seperti Muhammad Aman Al-Jami, Syaikh Salman Al-Audah, Syaikh Safar Al-Hawali, Syaikh Falih bin Nafi’ Al-Harbi, Syaikh Rabi’ bin Hadi, dan dai-dai lainnya yang dikenal memiliki akidah dan biografi yang baik serta dikenal pula termasuk Ahlussunnah wal Jamaah.
Maka tidak sepantasnya menyakiti salah satu mereka. Apabila seorang penuntut ilmu menyangka bahwa salah seorang mereka salah atau memperlihatkan kesalahan, maka tidak sepantasnya dia mencemarkan kehormatan dai tersebut dengan kesalahan itu atau dia su’uzhan kepadanya. Akan tetapi, hendaknya dia mendo’akan dai tersebut agar mendapatkan taufik dan hidayah dari Allah. Hendaknya pula dia menanyakan sesuatu yang tidak jelas baginya hingga lenyap ketidakjelasan dengan dalil yang tidak bias dipercaya, yaitu firman Allah dan sabda Rasul.
Disalin dari buku “Apa Beda Salaf dengan Salafi” diterjemahkan dari : http://www.islamgold.com/view.php?gid=2&rid=2 Aslinya merupakan rekaman yang diambil dari situs: http://audio.islamweb.net/islamweb/index.cfm?fuseaction=ReadContent&Audio
" Fatwa Syaikh kami yang mulia Prof. DR. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan Hafidzahulloh: Salaf adalah Hizbullah Yang Beruntung, Adapun Penamaan Dengan As-Salafi Atau Al-Atsari Tidak Ada Asal Usulnya "
Seseorang bertanya, “Wahai Fadhilatusy Syaikh Shalih Al-Fauzan—semoga Allah senantiasa memberikan taufiknya kepada Anda, kami mendengar sebagian orang mengatakan, ‘Tidak boleh intisab “menyandarkan diri” pada salaf dan Salafiyyah dianggap sebagai salah satu hizb ‘golongan’ yang hidup pada masa tertentu.’ Apa pendapat Anda mengenai pernyataan ini?”
Sayikh Shalih AL-Fauzan menjawab, “Iya! Salaf adalah hizbullah ‘golongan Allah’. Salaf adalah golongan, akan tetapi ia adalah hizbullah. Allah berfirman:
“Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung”. (Al-Mujadillah [58]: 22)
Barangsiapa menyelisihi salaf, maka mereka adalah golongan-golongan sesat lagi meyimpang. Golongan itu sendiri bermacam-macam. Ada golongan Allah (hizbullah) dan ada golongan setan (hizbusy syaithan) sebagaimana tercantum di akhir surat Al-Mujadilah. Ada hizbullah dan ada hizbusy syaithan. Golongan pun beragam. Barangsiapa berada di atas manhaj Al-Kitab dan As-Sunnah, maka dia adalah hizbullah. Sebaliknya, barangsiapa berada di atas manhaj sesat, maka dia adalah hizbusy syaithan. Engkau tinggal memilih; mau menjadi hizbullah atau menjadi hizbusy syaithan! Pilih sendiri!”
Kemudian Syaikh Hafizhuhullah ditanya, “Wahai Syaikh—semoga Allah senantiasa memberikan taufiknya kepada Anda, sebagian orang mengembel-embeli di belakang namanya dengan As-Salafi atau Al-Atsari. Apakah ini termasuk bentuk penyucian terhadap diri sendiri? Atau apakah memang sesuai dengan syariat?”
Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhuhullah menjawab, “Yang wajib adalah seseorang mengikuti kebenaran. Yang wajib adalah seseorrang mengkaji dan mencari kebenaran serta mengamalkannya. Adapun dia menamai dirinya dengan As-Salafi atau Al-Atsari dan yang semisal, maka tidak ada alasan untuk dapat mengklaim dengan nama ini.
Allah Yang Maha Mengetahui berfirman:
“Katakanlah (kepada mereka), ‘Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu (keyakinanmu), padahal Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Hujurat [49]: 16)
Menamakan diri dengan As-Salafi, Al-Atsari, dan yang semisal adalah tidak ada asal-usulnya. Kita melihat pada substansi nyata; bukan perkataan, penamaan diri, maupun pengakuan.
Terkadang, seseorang mengatakan kepada orang lain, ‘Ia salafi’, padahal orang tersebut bukan salafi (pengikut manhaj salaf). Atau juga mengatakan, ‘Ia atsari’, padahal orang yang ditunjuk bukan atsari (pengikut atsar salaf). Sebaliknya, seseorang adalah salafi (pengikut manhaj salaf) dan atsari (pengikut atsar salaf), namun tidak mengatakan, “Aku ini atsari, Aku ini salafi.’ Hendaknya kita melihat pada substansi nyata; bukan pada penamaan maupun klaim pengakuan.
Seorang muslim harus komitment dengan adab terhadap Allah swt. Tatkala orang-orang Arab Badui mengatakan, ‘Kami telah beriman!’ Allah mengingkari mereka. Allah berfirman:
“Orang-orang Arab Badui itu berkata, ‘Kami telah beriman’. Katakanlah (kepada mereka), ‘Kamu belum beriman’, tetapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk’.” (Al-Hujurat [49]: 14)
Allah mengingkari orang-orang Arab Badui yang menyifati diri mereka sebagai orang beriman. Padahal, mereka belum sampai pada tingkatan beriman. Mereka baru saja masuk Islam; itu pun masih diliputi keraguan.
Orang-orang Arab Badui itu datang dari pedusunan. Mereka menganggap diri mereka sudah lama menjadi orang beriman. Padahal tidak! Mereka baru saja masuk Islam. Apabila mereka melanjutkan keislaman mereka dan mau belajar, maka keimanan pun akan masuk ke dalam hati mereka sedikit demi sedikit. Allah berfirman:
“Padahal iman itu belum masuk ke dalam hati kalian.” (Al-Hujurat [49]: 14)
Kata lamma “belum” menunjukkan sesuatu yang masih menjadi harapan. Maksudnya, iman baru akan masuk tapi engkau sudah menganggap beriman dari pertama kali sebagai bentuk penyucian terhadap diri sendiri. Maka, tidak perlu engkau mengatakan, ‘Aku salafi! Aku atsari! Aku begini dan begini!’ Hendaklah engkau mencari kebenaran dan mengamalkannya. Perbaiki niatmu! Allah-lah Yang Maha Mengetahui substansi nyatanya.”
Sumber : http://www.islamgold.com/view.php?gid=2&rid=89
dikumpulkan Dari buku: Beda Salaf dengan Salafi, Terbitan: ISLAMIKA, atau Kitab aslinya Kasyfu Al-Haqaiq Al-Khafiyyah ‘Inda Mudda’I As-Salafiyyah karya Al-Allamah Asy-Syaikh Mut’ab bin Suryan Al-‘Ashimi Hafidzahulloh.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar