Sebuah anomali terhadap pemahaman yang kadang kala lahir tanpa adanya sebuah kesadaran diri. Dan ini merupakan pengewejantahan dari sisi khilafiah manusia dan menjadi sesuatu yang patut di khawatirkan keberadaannya. Kesadaran akan suatu perbuatan menyimpang terhadap koridor syari’at seyogyanya akan mempengaruhi terhadap esensi dari agama Islam itu sendiri. Keterlibatan akan hal ini sering kali menjelma momok yang sangat menakutkan, karena pada dasarnya akan merusak terhadap eksistensi diri sebagai pemeluk Agama (Islam).
Hal inilah yang selalu di fatwahkan oleh Ustadz Abu Bakar Ba’asyir – sebagaimana kata pengantar beliau dalam buku ini – terhadap sekalian Umat Islam atas dasar kegamangan beliau terhadap realitas sosial dan keberadaan zaman yang semakin tidak menjamin terhadap esensi Agama dan penganutnya. (hal. 33)
Riddah atau kemurtadhan, dimana keluarnya seseorang dari din Islam menuju kekafiran, selalu menjadi hal yang sangat dirisaukan. Memang, sebagaimana menurut penulis buku ini, yang diformulasi dari berbagai pendapat Ulama’ terdahulu, sesuatu anomali yang dengan tanpa kesadaran diri dapat terjadi, bahkan dalam tiap detik pun, entah dengan melalui perbuatan lisan, perbuatan anggota badan, atau perbuatan hati (aqidah) yang berorientasi pada keyakinan yang mengatasnamakan keraguan.
Pada dasarnya, secara umum terjadinya riddah ialah tidak dapat dielakkan dari hukum yang mengikat, yaitu syari’at yang membatasi atas perbuatan-perbuatan di atas. Sehingga pada penjabarannya ialah berkutat pada iman tidaknya seseorang dan kufur tidaknya seseorang, dan hal ini muncul sebagai akibat dari berlakunya hukum, sehingga pada pembahasan tentang riddah adalah menjadi sebuah tema yang sangat urgen, karena tolak belakang dari keimanan adalah kekufuran, begitu juga sebaliknya, yang dijembatani oleh terjadinya riddah itu sendiri.
Syaih Abdul Qadir bin Abdul Aziz disini, membentuk sudut pandang tentang materi keimanan dan kukufuran yang dipatokkan pada syari’at. Sehingga beliau tidak mengelak dari pendapat-pendapat Ibnu Taimiyah, Ibnu Rajab al-Hanbali, Ibnul Qayyim yang mensubstratkan masalah-masalah Islam, iman, kufur dan nifak (munafik) pada suatu bentuk permasalahan besar yang di orientasikan kepada eksistensi syari’at. Karena menurut beliau pembahasan tentang iman dan kufur adalah perbedaan yang mencolok dan supaya pada keduanya mendapat tempat sebagaimana mestinya, sesuai dengan syari’at Allah. (hal. 33)
Iman seseorang kadang kala naik juga kadang kala turun, bahkan melebihi dari kadarnya, sehingga terjadi pembatalan-pembatalan yang signifikan terhadap keimanan itu sendiri dengan manifestasi yang berbeda-beda. Namun yang sangat santer dirisaukan oleh kalangan ulama’ ialah ketika terjadinya pembatalan-pembatalan aqidah yang berujung pada kemunafikan yang dipraktikkan oleh para orientalis, entah yang bersifat nyata atau pun maya. Utamanya bagi para kaum teolog yang dirasuki oleh pemikiran-pemikiran kontemporer, pembobolan keimanan dengan melalui praktik-praktik kristenisasi atau yang lainnya. Walau tanpa kesadaran utuh bahwa mereka pada hakikatnya bermain-main dengan api riddah, namun yang terewejantah ialah kemunafikan adanya dan riddah itu sendiri. Dan bagi kaum Murji’ah bahwa mereka sudah tersesat pada jalan kekafiran, karena pada dasarnya dari kebimbangan aqidah akan berhujung pada perbuatan zhahir yang menyimpang pula. (hal.41)
Hal-hal kecil yang menyimpang dari syari’at yang kadang kala dibuat remeh oleh para kebanyakan orang Islam akan menjadi sesuatu yang besar pengaruhnya terhadap eksistensi keberagamaannya. Para ulama’ dahulu (salaf) melalui pertimbangan ini telah merangkum beberapa deferensialisasi dari beberapa epistimologi hukum yang membungkus dan kemudian memberikan masukan-masukan yang non-spekulatif terhadap batasan-batasan yang kemudian dijadikan dogma mem-vonis akan eksistensi iman dan kafirnya seseorang. Hal ini dibentuk semacam syarat-syarat yang mengikat akan hal demikian. Syarat itu mengharuskan umat untuk lebih berhati-hati lagi dalam menjaga keterlibatan zhahiriyah dan batiniyahnya yang memaksa untuk membuat perhitungan dengan syari’at. (hal. 103)
Pada kenyataan demikian di atas tidaklah benar jika dikatakan sebagai hal yang spekulatif yang ditempatkan pada fiqh oriented, akan tetapi memiliki orientasi yang lebih luas lagi dari padanya, karena dari sisi zhahiriyah dan batiniyahnya sama-sama dikena. Juga dengan corak yang agak begitu radikal – jika kita menganggapnya begitu - buku ini dimampatkan kepada apa yang seharusnya dilakukan ketika dihadapkan kepada persoalan riddah yang tak lagi tampak (samar), yang merupakan pokok persoalan ke-Islaman yang begitu urgen dihadapi oleh umat Islam dulu, kini dan yang akan datang. Buku yang sangat referensial ini pada dasarnya ingin bicara kepada publik, bahwa persoalan pokok yang paling dirisaukan pada zaman sekarang ialah persoalan kekafiran yang samar dengan melalui riddah yang samar pula.
Sehingga, pada akhirnya membutuhkan pembimbingan diri yang inten dan berkelanjutan dengan diwujudkan pada realitas keseharian. Dan tentang hal demikian, buku ini akan sangat membantu dan akan membawa kepada arah tersebut. Juga selain itu, kepada bidang-bidang kajian terhadap literatur-literatur klasik lintas eksistensi ke-Islaman dan keimanan menjadi suatu hal yang tidak mahal untuk menjadikan buku ini sebagai rujukan. (AH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar