Kamis, 01 Mei 2008

Tulisan Yayasan Al-Qolam, Bekasi

Untukmu Wahai Puteriku! Penulis : Syaikh Ali Ath-Thanthawi

Putriku tercinta! Aku seorang yang telah berusia hampir lima puluh tahun. Hilang sudah masa remaja, impian, dan khayalan. Aku telah mengunjungi banyak negeri, dan berjumpa dengan banyak orang.

Aku juga telah merasakan pahit getirnya dunia. Oleh karena itu, dengarkan nasehat-nasehatku yang benar lagi jelas, berdasarkan pengalaman-pengalamanku, dimana engkau belum pernah mendengarnya dari orang lain.

Kami telah menulis dan mengajak kepada perbaikan moral, menghapus kejahatan, dan mengekang hawa nafsu. Sampai pena tumpul dan mulut letih, kami tidak menghasilkan apa-apa. Kemungkaran tidak dapat kami berantas, bahkan semakin bertambah, kerusakan telah mewabah. Para wanita keluar dengan pakaian merangsang, terbuka bagian lengan, betis, dan lehernya.

Kami belum menemukan cara untuk memperbaiki, kami belum tahu jalannya. Sesungguhnya jalan kebaikan itu ada di depanmu, putriku! Kuncinya berada di tanganmu.

Benar, bahwa lelakilah yang memulai langkah pertama dalam lorong dosa. Tetapi bila engkau tidak setuju, laki-laki itu tidak akan berani. Dan andaikata bukan lantaran lemah gemulaimu, laki-laki tidak akan bertambah parah. Engkaulah yang membuka pintu, kau katakan kepada si pencuri itu : “Silakan masuk!” Ketika ia telah mencuri, engkau berteriak : “Maling! Tolong! Tolong! Saya kemalingan.”

Demi Allah, dalam khayalan seorang pemuda tak melihat gadis kecuali gadis itu telah ia telanjangi pakaiannya.

Demi Allah, begitulah, jangan engkau percaya apa yang dikatakan laki-laki, bahwa ia tidak akan melihat gadis kecuali akhlak dan budi bahasanya. Ia akan berbicara kepadamu sebagai seorang sahabat.

Demi Allah, ia telah bohong! Senyuman yang diberikan pemuda kepadamu, kehalusan budi bahasa dan perhatian, semua itu tidak lain hanyalah merupakan perangkap rayuan! Setelah itu apa yang terjadi?

Apa, wahai puteriku? Coba kau pikirkan!

Kalian berdua sesaat berada dalam kenikmatan, kemudian engkau ditinggalkan, dan engkau selamanya tetap akan merasakan penderitaan akibat kenikmatan itu. Pemuda tersebut akan mencari mangsa lain untuk diterkam kehormatannya, dan engkaulah yang menanggung beban kehamilan dalam perutmu. Jiwamu menangis, keningmu tercoreng, selama hidupmu engkau akan tetap berkubang dalam kehinaan dan keaiban, masyarakat tidak akan mengampunimu selamanya.

Bila engkau bertemu dengan pemuda, kau palingkan muka, dan menghindarinya. Apabila pengganggumu berbuat lancang lewat perkataan atau tangan yang usil, kau lepaskan sepatu dari kakimu, lalu kau lemparkan ke kepalanya. Bila semua ini engkau lakukan, maka semua orang di jalan akan membelamu. Setelah itu anak-anak nakal itu takkan mengganggu gadis-gadis lagi. Apabila anak laki-laki itu menginginkan kebaikan, maka ia akan mendatangi orangtuamu untuk melamar.

Cita-cita wanita tertinggi adalah perkawinan. Wanita, bagaimana pun juga status sosial, kekayaan, popularitas, dan prestasinya, sesuatu yang sangat didamba-dambakannya adalah menjadi isteri yang baik serta ibu rumah tangga yang terhormat.

Tak ada seorang pun yang mau menikahi pelacur. Sekalipun ia lelaki hidung belang, apabila akan menikah tidak akan memilih wanita jalang (nakal), akan tetapi ia akan memilih wanita yang baik karena ia tidak rela bila ibu rumah tangga dan ibu putera-puterinya adalah seorang wanita amoral.

Sesungguhnya krisis perkawinan terjadi disebabkan kalian kaum wanita! Krisis perkawinan terjadi disebabkan perbuatan wanita-wanita asusila, sehingga para pemuda tidak membutuhkan isteri. Akibatnya banyak para gadis berusia cukup untuk nikah tidak mendapatkan suami. Mengapa wanita-wanita yang baik belum juga sadar? Mengapa kalian tidak berusaha memberantas malapetaka ini?

Kalianlah yang lebih patut dan lebih mampu daripada kaum laki-laki untuk melakukan usaha itu, karena kalian telah mengerti bahasa wanita dan cara menyadarkan mereka. Dan oleh karena yang menjadi korban kerusakan ini adalah kalian, para wanita mulia dan beragama.

Maka hendaklah kalian mengajak mereka agar bertakwa kepada Allah. Bila mereka tidak mau bertaqwa, peringatkanlah mereka akan akibat yang buruk dari perzinaan seperti terjangkitnya suatu penyakit. Bila mereka masih membangkang, maka beritahukan akan kenyataan yang ada. Katakan kepada mereka : “Kalian adalah gadis-gadis remaja putri yang cantik, oleh karena itu banyak pemuda mendatangi kalian dan berebut di sekitar kalian. Akan tetapi apakah keremajaan dan kecantikan itu akan kekal? Semua makhluk di dunia ini tidak ada yang kekal. Bagaimana kelanjutannya, bila kalian sudah menjadi nenek dengan punggung bungkuk dan wajah keriput? Saat itu, siapakah yang akan memperhatikan? Siapa yang akan simpati?

Tahukah kalian, siapakah yang memperhatikan, menghormati dan mencintai seorang nenek? Mereka adalah anak dan para cucunya, saat itulah nenek tersebut menjadi seorang ratu di tengah rakyatnya. Duduk di atas singgasana dengan memakai mahkota. Tetapi bagaimana dengan nenek yang lain, yang masih belum bersuami itu? Apakah kelezatan itu sebanding dengan penderitaan di atas? Apakah akibat itu akan kita tukar dengan kelezatan sementara?”

Dan berilah nasehat-nasehat yang serupa, saya yakin kalian tidak perlu petunjuk orang lain serta tidak kehabisan cara untuk menasehati saudari-saudari yang sesat dan patut dikasihani. Bila kalian tidak dapat mengatasi mereka, berusahalah untuk menjaga wanita-wanita baik, gadis-gadis yang sedang tumbuh, agar mereka tidak menempuh jalan yang salah.

Saya tidak minta kalian untuk mengubah secara drastis, mengembalikan wanita kini menjadi kepribadian muslimah yang benar. Akan tetapi kembalilah ke jalan yang benar setapak demi setapak, sebagaimana kalian menerima kerusakan sedikit demi sedikit.

Perbaikan tersebut tidak dapat diatasi hanya dalam waktu sehari atau dalam waktu singkat, melainkan dengan kembali ke jalan yang benar dari jalan yang semula kita lewati menuju kejelekan walaupun jalan itu sekarang telah jauh. Tidak menjadi soal, orang yang tidak mau menempuh jalan panjang yang hanya satu-satunya ini, tidak akan pernah sampai.

Kita mulai dengan memberantas pergaulan bebas, (kalaupun) seorang wanita membuka wajahnya tidak berarti ia boleh bergaul dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Istri tanpa tutup wajah bukan berarti ia boleh menyambut kawan suami di rumahnya, atau menyalaminya bila bertemu di kereta, bertemu di jalan. Atau seorang gadis menjabat tangan kawan pria di sekolah, berbincang-bincang, berjalan seiring, belajar bersama untuk ujian.

Dia lupa bahwa Allah menjadikannya sebagai wanita dan kawannya sebagai pria, satu dengan lain dapat saling terangsang. Baik wanita, pria, atau seluruh penduduk dunia tidak akan mampu mengubah ciptaan Allah, menyamakan dua jenis atau menghapus rangsangan seks dari dalam jiwa mereka.

Mereka yang menggembor-gemborkan emansipasi dan pergaulan bebas atas kemajuan adalah pembohong, dilihat dari dua sebab :

Pertama, karena itu semua mereka lakukan untuk kepuasan pada diri mereka, memberikan kenikmatan-kenikmatan melihat angota badan yang terbuka dan kenikmatan-kenikmatan lain yang mereka bayangkan. Akan tetapi mereka tidak berani berterus terang. Oleh karena itu mereka bertopeng dengan kalimat yang mengagumkan yang sama sekali tidak ada artinya, kemajuan, modernisasi, kehidupan kampus, dan ungkapan-ungkapan yang lain yang kosong tanpa makna bagaikan gendang.

Kedua, mereka bohong oleh karena mereka bermakmum pada Eropa, menjadikan eropa bagaikan kiblat. Dan mereka tidak dapat memahami kebenaran kecuali apa-apa yang datang dari sana, dari Paris, London, Berlin, dan New york. Sekalipun berupa dansa, porno, pergaulan bebas di sekolah, buka aurat di lapangan, dan telanjang di pantai (atau di kolam renang).

Kebatilan menurut mereka adalah segala sesuatu yang datangnya dari timur, sekolah-sekolah Islam dan masjid-masjid, walapun berupa kehormatan, kemuliaan, kesucian dan petunjuk. Kata mereka, pergaulan bebas itu dapat mengurangi nafsu birahi, mendidik watak, dan dapat menekan libido seksual. Untuk menjawab ini, saya limpahkan pada mereka yang telah mencoba pergaulan bebas di sekolah-sekolah, seperti Rusia yang tidak beragama, tidak pernah mendengar para ulama dan pendeta. Bukankah mereka telah meninggalkan percobaan ini setelah melihat bahwa hal ini amat merusak?

Saya tidak berbicara dengan para pemuda, saya tidak ingin mereka mendengar. Saya tahu, mungkin mereka menyanggah dan mencemoohkan saya, karena saya telah menghalangi mereka untuk memperoleh kenikmatan dan kelezatan. Akan tetapi saya berbicara kepada kalian, putri-putriku, wahai putriku yang beriman dan beragama! Putriku yang terhormat dan terpelihara ketahuilah bahwa yang menjadi korban semua ini bukan orang lain kecuali engkau.

Oleh karena itu jangan berikan diri kalian sebagai korban iblis. Jangan dengarkan ucapan mereka yang merayumu dengan pergaulan yang alasannya hak asasi, modernisme, emansipasi, dan kehidupan kampus. Sungguh kebanyakan orang yang terkutuk ini tidak beristri dan tidak memiliki anak. Mereka sama sekali tidak peduli dengan kalian selain untuk pemuas kelezatan sementara. Sedangkan saya adalah seorang ayah dari empat gadis. Bila saya membela kalian, berarti saya membela putri-putriku sendiri. Saya ingin kalian bahagia seperti yang saya inginkan untuk putri-putriku.

Sesungguhnya tidak ada yang mereka inginkan selain memperkosa kehormatan wanita, kemuliaan yang tercela tidak akan bisa kembali, begitu juga martabat yang hilang tidak akan dapat diketemukan kembali.

Bila anak putri jatuh, tak seorang pun di antara mereka mau menyingsingkan lengan untuk membangunkannya dari lembah kehinaan. Yang engkau dapati mereka hanya memperebutkan kecantikan si gadis. Apabila telah berubah dan hilang, mereka pun lalu pergi menelantarkan. Persisnya seperti anjing meninggalkan bangkai yang tidak tersisa daging sedikit pun.

Inilah nasehatku padamu, putriku. Inilah kebenaran. Selain ini jangan percaya. Sadarlah bahwa di tanganmulah, bukan di tangan kami kaum laki-laki, kunci pintu perbaikan. Bila mau, perbaikilah diri kalian, maka dengan demikian umat pun kan menjadi baik.

Disarikan dari buku : “Wahai Putriku” Ali Thanthawi.

Mukhtar ……….! at 6.8.07 0 Comment

Label: Akhwat

Kecemburuan Istri Rasulullah

Cemburu merupakan tanda adanya cinta, mustahil orang yang mengakui mencintai kekasihnya (suaminya/istrinya) tidak memiliki rasa cemburu. Cemburu merupakan tanda kesempurnaan cinta, akan tetapi cemburu bisa tercela apabila terlalu berlebihan dan melampui batas. Aisyah RA adalah seorang wanita pencemburu. Hal ini terjadi karena begitu besar rasa cintanya kepada kekasihnya, yaitu Rasulullah SAW.

Dari Aisyah, bahwa Rasulullah SAW keluar dari rumahnya pada suatu malam. Aisyah menuturkan : Maka aku pun menjadi cemburu kepada beliau sekiranya beliau mendatangi istri yang lain. Kemudian beliau kembali lagi dan melihat apa yang terjadi pada diriku. “Apakah engkau sedang cemburu?” tanya beliau. “Apakah orang semacam aku ini tidak layak cemburu terhadap orang seperti engkau?” tanyaku. “Rupanya syetan telah datang kepadamu,” sabda beliau. “Apakah ada syetan besertaku?” tanyaku. “Tak seorang pun melainkan bersamanya ada syetan.” jawab beliau. “Besertamu pula?” tanyaku. “Ya, hanya saja Allah menolongku untuk mengalahkannya sehingga aku selamat,” jawab beliau. (HR. Muslim dan Nasa’i).

Dari Aisyah, dia berkata : Aku tidak pernah melihat orang yang pandai masak seperti halnya Shafiyah. Suatu hari dia membuatkan makanan bagi Rasulullah SAW yang ketika itu beliau di rumahku. Seketika itu badanku gemetar karena rasa cemburu yang menggelegak. Lalu aku memecahkan bejana Shafiyah. Aku pun menjadi menyesal sendiri. Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa tebusan atas yang aku lakukan ini?” Beliau menjawab, “Bejana harus diganti dengan bejana yang sama, makanan harus diganti dengan makanan yang sama.” (HR. Abu Daud dan An-Nasa’i).

Sedangkan dalam riwayat lain dari Anas bin Malik RA, dia menceritakan : Nabi SAW pernah berada di sisi salah seorang istrinya. Kemudian seorang dari ummul mukminin mengirimkan satu mangkuk makanan. Lalu istri Nabi yang berada di rumahnya memukul tangan Rasulullah sehingga mangkuk itu jatuh dan pecah. Maka Nabi pun mengambil dan mengumpulkan makanan di dalamnya. Beliau berkata, “Ibumu cemburu, makanlah.” Maka mereka pun segera memakannya. Sehingga beliau memberikan mangkuk yang masih utuh dari istri di mana beliau berada, dan meninggalkan mangkuk yang telah pecah tersebut di rumah istri yang memecahkannya. (HR. Bukhari, Ahmad, Nasa’i, dan Ibnu Majah).

Hadits senada di atas dengan beberapa tambahan, yaitu di dalam Ash-Shahih, dari hadits Humaid dari Anas RA, dia berkata : Ada di antara istri Nabi SAW yang menghadiahkan semangkuk roti dicampur kuah kepada beliau, selagi beliau berada di rumah istri beliau yang lain (Aisyah). Aisyah menepis tangan pembantu yang membawa mangkuk, sehingga mangkuk itu pun jatuh dan pecah. Nabi SAW langsung memunguti roti itu dan meletakkan kembali di atas mangkuk, seraya berkata, “Makanlah. Ibu kalian sedang cemburu.” Setelah itu beliau menunggu mangkuk pengganti dan memberikan mangkuk yang pecah itu kepada Aisyah. (Diriwayatkan oleh Bukhari, Tirmidzi, Ahmad, Abu Daud, dan Nasa’i).

Begitu pula kecemburuan Aisyah terhadap Shafiyah. Tatkala Rasulullah tiba di Madinah bersama Shafiyah yang telah dinikahinya, dan beliau berbulan madu bersamanya di tengah jalan, maka Aisyah berkata : Aku menyamar lalu keluar untuk melihat. Namun beliau mengenaliku. Beliau hendak menghampiriku, namun aku berbalik dan mempercepat langkah kaki. Namun beliau dapat menyusul lalu merengkuhku, seraya bertanya, “Bagaimana pendapatmu tentang dia?” Aku menjawab, “Dia adalah wanita Yahudi di tengah para wanita yang menjadi tawanan.” (HR. Ibnu Majah).

Aisyah RA pernah berkata : Aku tidak pernah cemburu terhadap wanita seperti kecemburuanku terhadap Khadijah, karena Nabi SAW seringkali menyebut namanya. Suatu hari beliau juga menyebut namanya, lalu aku berkata, “Apa yang engkau lakukan terhadap wanita tua yang merah kedua sudut mulutnya? Padahal Allah telah memberikan ganti yang lebih baik darinya kepadamu.” Beliau bersabda, “Demi Allah, Allah tidak memberikan ganti yang lebih baik darinya kepadaku.” (Diriwayatkan Bukhari).

Aduhai, kecemburuan yang sangat mendalam hanya karena kekasihnya menyebut wanita lain padahal wanita yang disebutnya telah kembali kepada Zat Yang Mulia tetap membuatnya cemburu. Akan tetapi bisa engkau lihat, ya ukhti, betapa mulianya akhlak Rasulullah terhadap istrinya yang cemburu. Tidaklah beliau mengeluarkan perkataan yang kasar melainkan kata-kata yang haq. Semoga para suami kita bisa meneladani sikap dan akhlak beliau, Nabi SAW. Karena hanya beliaulah sebaik-baik sosok teladan yang patut untuk ditiru dan dicontoh oleh semua umatnya. Sebagaimana dalam firmanNya, “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab : 21). diterjemahkan oleh: Abu Hanifah Muhammad Faishal alBantani al-Jawy, Spd, I

” Jaringan Islam Liberal /Jaringan Iblis Laknatulloh (JIL) ” Pengantar Redaksi: Pada tanggal 16 April 2005 lalu, berlangsung acara bedah buku di UIN (alias IAIN) Jakarta. Buku yang dibedah berjudul “Ada Pemurtadan di IAIN” karya Hartono Ahmad Jaiz. Pemrakarsa acara tersebut adalah anak-anak JIL.

Hartono Ahmad Jaiz, sempat terkejut dengan banyaknya audiens yang menghadiri acara ini. Jumlahnya seribu lebih. Dan yang lebih mengagetkan lagi, massa yang banyak itu justru berasal dari luar UIN, yaitu mereka yang kontra JIL. Tentu saja kehadiran mereka itu membuat komunitas JIL (dan anak-anak UIN pro JIL) menjadi ciut.

Sayangnya, atau culasnya, moderator yang pro JIL tidak memberi kesempatan kepada audiens untuk terlibat dalam tanya jawab. Meski demikian, kedua `pakar’ JIL kedodoran menghadapi Hartono Ahmad Jaiz dan Muhammad At-Tamimi.

Kehadiran audiens yang kontra JIL dengan jumlah yang tak terduga itu, nampaknya menunjukkan bahwa generasi muda Islam kita memang masih banyak yang waras. Kedua, menunjukkan bahwa kontribusi para aktivis Islam di internet (terutama komunitas PKS dan SHT) yang turut mensosialisasikan adanya acara tersebut, ternyata cukup efektif. Ketiga, ini merupakan pertolongan Allah SWT.

Sayangnya, ketika `cendekiawan dan misionaris JIL’ ini keok –bahkan di sarangnya sendiri– tidak ada satu pun media massa yang mempublikasikannya. Oleh karena itu, merupakan kewajiban kita untuk mempublikasikan laporan pandangan mata di bawah ini yang disusun oleh akh Abu Qori.

Mau Menyanggah Malah Kejeblos

Maksud hati mau menepis dan menyanggah isi buku Ada Pemurtadan di IAIN, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Para misionaris JIL itu malah terperosok ke dalam kubangan yang mereka sediakan sendiri. Forum bedah buku yang semula diharapkan dapat `membantai’ Hartono Ahmad Jaiz malah menjadi ajang pembuktian bahwa di IAIN memang ada pemurtadan. Hujjah-hujjah yang diajukan para misionaris JIL itu justru secara tidak langsung malah meneguhkan adanya proses pemurtadan di IAIN. Acara bedah buku karya Hartono Ahmad Jaiz itu berlangsung di Masjid Kampus UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Ciputat Jakarta, Sabtu 16 April 2005 bertepatan dengan tanggal 7 Rabi’ul Awwal 1426 Hijriah.

Tak dinyana, acara yang sepi promosi ini ternyata dihadiri 1000-an peserta, sebagian besar justru berasal dari luar kampus UIN. Sehingga, perhelatan yang semula dirancang bertempat di Fak Ushuluddin dan Filsafat, karena tidak mampu menampung audiens, dipindahkan ke Masjid, khususnya di lantai 2 dan 3.

Pembicara empat orang. Dua pembicara yang membuktikan adanya pemurtadan di IAIN adalah Hartono Ahmad Jaiz (penulis buku yang dibedah) dan Muhammad At-Tamimi dari Purwakarta Jawa Barat. Sedangkan dua pembicara lainnya –yang tampaknya membawa misi untuk menepis adanya pemurtadan di IAIN namun justru hujjah-hujjahnya menggunakan pemahaman, materi, dan metode orang murtad– adalah Ulil Abshar Abdalla kordinator JIL (Jaringan Islam Liberal) dan Abdul Muqsith Ghazali MA dosen/alumni UIN Jakarta yang juga termasuk penyusun CDL KHI (Counter Draft Legal Kompilasi Hukum Islam) pimpinan Dr Musdah Mulia yang telah dicabut Menteri Agama karena isinya meresahkan dan bertentangan dengan Islam.

Acara berlangsung seru, ada pekik Allahu Akbar dan tepuk tangan bertalu-talu, meski moderator sudah mengingatkan agar tidak bertepuk tangan di dalam masjid.

Materi, pemahaman, dan metode yang ditempuh Muqsith dan Ulil justru menambah bukti bahwa apa-apa yang ditulis di dalam buku Ada Pemurtadan di IAIN terbitan Pustaka Al-Kautsar Jakarta setebal 280 halaman itu, memang benar adanya. Karena, hujjah-hujjah dan metode dua pembicara yang pro IAIN dalam membantah buku itu memang diambil dari materi dan pemahaman kelompok ataupun tokoh yang sudah dinyatakan kekufurannya oleh para ulama.

Atau, mereka menggunakan pemahaman mereka sendiri yang tanpa dasar, lalu sampai berani menolak hadits yang shahih, dan hukum Allah swt dalam Al-Qur’an. Di samping itu masih disertai dengan kebohongan-kebohongan untuk memberikan cap-cap sangat buruk kepada penulis buku. Akibatnya, ketika kebohongan-kebohongan itu dibalikkan oleh penulis buku, maka terkuaklah kesempurnaan bahwa produk dan bahkan dosen IAIN yang dijagokan untuk membela IAIN justru lebih buruk dari yang telah ditulis di buku itu.

Artinya, isi buku Ada Pemurtadan di IAIN tidak lebih seram dibanding dengan kenyataan yang ditemukan di lapangan, melalui forum bedah buku tersebut.

Membela pemurtadan dengan pemahaman kufur

Jalan yang ditempuh Muqsith dan Ulil dalam membela IAIN ketika bedah buku itu adalah:

1. Berbohong dalam rangka memberikan stigma sangat buruk kepada penulis buku.

2. Membela kemurtadan atau kekufuran dengan faham kekufuran, dan justru ditawarkan kepada penulis buku agar mempelajarinya. Bahkan mereka meng-klaim bahwa di IAIN tidak ada pemurtadan, yang terjadi sesungguhnya dalah proses adalah pluralisasi penafsiran. Dan yang dijadikan hujjah adalah penafsiran orang-orang yang sudah divonis oleh para ulama sebagai kafir ataupun zindiq yaitu Ikhwanus Shofa’ dan Ibnu `Arabi tokoh tasawuf sesat berfaham wihdatul adyan (menyamakan semua agama) dan wihdatul wujud (satunya alam dengan Tuhan).

3. Melecehkan penulis –yang banyak mengutip ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi– dengan tuduhan terlalu `memberhalakan’ huruf-huruf Al-Qur’an. Tuduhan itu didibalikkan oleh penulis: karena penulis mengikuti Al-Qur’an, maka pada hari Jum’at ia pun melaksanakan shalat Jum’at; sedangkan Ulil, justru leha-leha berseminar dengan orang Kristen membahas tentang Tuhan di hari Jum’at dari jam 10 hingga 13 dan tidak shalat Jum’at, tandas Hartono Ahmad Jaiz sambil mengangkat Majalah Gatra edisi 26 Februari 2005 yang memberitakan bahwa Ulil tidak Shalat Jum’at.

4. Memberi cap buruk kepada penulis sebagai orang yang melanggar prinsip-prinsip dasar Al-Qur’an, karena penulis tak membolehkan nikah beda agama. Penulis menguraikan tentang dosen-dosen IAIN, Dr Zainun Kamal dan Dr Kautsar Azhari Noer, yang menikahkan wanita muslimah dengan lelaki Nasrani, dan lelaki muslim dengan wanita Konghucu. Pernikahan itu bertentangan dengan Al-Qur’an surat Al-Mumtahanah (60) ayat 10 dan Al-Baqarah (2) ayat 221. Muqsith yang alumni dan dosen UIN Jakarta justru membela dosen-dosen IAIN yang melanggar ayat-ayat itu dan malahan memberi cap buruk kepada penulis buku. Maka, Muhammad At-Tamimi dengan tegas menyatakan penolakan terhadap ayat itu sebagai sikap orang gila yang berbicara agama tetapi dengan dalih “menurut saya”.

5. Gagal memberikan cap buruk tentang akhlaq penulis dan isi buku, karena tuduhan-tuduhan Muqsith dan Ulil itu tak sesuai fakta, maka lebih drastis lagi, Muqsith membela ajakan dzikir dengan lafal anjing hu akbar, dengan mengemukakan bahwa dzikir dengan lafal anjing hu akbar pun kalau niatnya… (tidak jelas suara Muqsith karena suara hadirin gemuruh) maka bisa meninggikan maqamnya. Ungkapan itu menjadikan para hadirin berteriak gemuruh, menyiratkan kejengkelan karena justru keluar betul keaslian produk IAIN yang diangkat jadi dosen ternyata seburuk itu pemikirannya dan keyakinannya. Bagaimana lagi para mahasiswa asuhannya nanti.

6. Ulil berani menolak hadits shohih, walaupun dirinya mengakui bahwa hadits itu shohih, hanya karena keberanian menurut dirinya. Ulil juga mengakui bahwa dirinya menulis di Kompas, tidak ada hukum Tuhan. Maka Muhammad At-Tamimi menyebut Ulil sebagai orang gila pertama dan Muqsith orang gila kedua. Karena Allah swt telah menurunkan wahyu tetapi ditolak dan disebut tidak ada hukum Tuhan. Ini jelas murtad, kufur. Berbohong atau memutar balikkan

Kebohongan yang dilontarkan, di antaranya Muqsith mengemukakan bahwa penulis buku ini sampai menulis: Si jompo Sinta Nuriyah. “Penulis ini akhlaqnya masih akhlaq orang beriman atau tidak. Kalau orang beriman tentunya tidak menulis seperti itu,” kata Muqsith.

Kebohongan itu dijawab oleh Hartono Ahmad Jaiz (penulis), bahwa di buku Ada Pemurtadan di IAIN ini tidak ada tulisan yang bunyinya si jompo. Yang ada hanyalah penjelasan tentang keadaan, yaitu yang sudah jompo. Lantas, lanjut Hartono, “yang tidak berakhlaq itu yang mengubah perkataan ini atau siapa?” Dan juga, “orang yang mengajak berdzikir dengan lafal anjing hu akbar (di IAIN Bandung) malah dibela. Kemudian orang yang tidak menulis si jompo dikatakan menulis si jompo dan dianggap tidak berakhlaq. Ini yang tak berakhlaq dan imannya perlu dipertanyakan itu siapa.”

Kebohongan yang kedua namun tidak sempat dibantah karena sempitnya waktu, adalah perkataan Muqsith bahwa Imam Ahmad dalam Kitab Mizanul Kubro (karangan As-Sya’roni) disebutkan, menurut pendapat Imam Ahmad, aurat wanita itu hanyalah qubul dan dubur (kemaluan depan dan belakang). Perlu dikemukakan dalam tulisan ini, Muqsith yang dosen dan alumni UIN Jakarta itu apakah ingin mengkampanyekan agar wanita-wanita di bumi ini bertelanjang atau bagaimana, yang jelas dia dalam membela IAIN itu telah menyembunyikan sesuatu.

Dalam kitab Mizanul Kubro itu ada wanita merdeka (al-hurroh) dan wanita budak (al-ammah). Aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuhnya, kecuali mukanya dan kedua telapak tangannya, menurut pendapat Malik, Syafi’i, dan Ahmad dalam salah satu dari dua riwayatnya. Menurut Abu Hanifah, seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali mukanya, dua telapak tangannya, dan dua telapak kakinya. Riwayat lain dari Ahmad, (seluruh tubuh wanita adalah aurat) kecuali mukanya saja. (Al-Mizanul Kubro Juz 1, halaman 170, cetakan I, Darul Fikr Beirut, dalam hal syarat sahnya sholat tentang menutup aurat).

Aurat wanita budak (al-ammah) dalam sholat adalah antara pusarnya dan lututnya seperti aurat laki-laki. Ini menurut pendapat Malik, Syafi’i, dan salah satu riwayat dari Ahmad; dan riwayat yang lain bahwa auratnya (wanita budak/al-ammah) adalah qubul dan dubur saja. (ibid). Dalam Kitab Mizanul Kubro itu dijelaskan, yang diamalkan oleh salafus sholih adalah yang pertama (aurat budak wanita, antara pusar dan lutut) karena tidak adanya syahwat untuk melihat budak wanita di luar sholat, lebih-lebih ketika sholat. (ibid).

Imam Ahmad dalam Kitab Mizanul Kubro bab shalat itu dikutip pendapatnya bahwa aurat wanita merdeka (al-hurrah) adalah seluruh tubuhnya kecuali muka dan dua telapak tangannya atau bahkan seluruh tubuh kecuali muka saja.

Perlu dijelaskan kebohongan Muqsith dengan kenyataan, bahwa wanita sekarang, pengertiannya ya wanita yang disebut al-hurroh itu. Lalu kok bisa-bisanya Muqsith Ghozali dosen dan alumni UIN Jakarta ini mengatakan bahwa Imam Ahmad dalam Kitab Mizanul Kibro, berpendapat bahwa aurat wanita itu hanyalah qubul dan dubur. Itulah cara berbohong untuk mengkampanyekan agar wanita sekarang yang sebagian mereka sudah memperlihatkan pusarnya itu agar lebih bertelanjang lagi.

Kebohongan ketiga, Muqsith menganggap Hartono Amad Jaiz melanggar prinsip-prinsip dasar Al-Qur’an, karena Hartono mengharamkan nikah beda agama.

Perkataan itu sendiri sudah menyembunyikan sesuatu. Dalam buku itu sudah ditulis, yang dipersoalkan adalah wanita muslimah dinikahi lelaki kafir, Non Islam,Yahudi-Nasrani dan lainnya. Juga lelaki Muslim menikahi wanita Konghucu. Lalu Muqsith mengatakan bahwa tidak ada ayat yang mengharamkan nikah beda agama. Itu juga menyembunyikan ayat, hingga dibantah dengan seru oleh seorang pemuda/mahasiswa secara spontan dengan mengacungkan Al-Qur’an.

Kalau Muqsith tidak menolak Al-Qur’an, tentunya mau mengakui, Ayatnya sudah jelas, QS 60: 10, QS 2: 221, dan tentang kafirnya Ahli Kitab dalam Surat Al-Bayyinah ayat 6. Dengan cara menyembunyikan ayat, hingga justru menghalalkan nikah beda agama (seperti yang telah disebutkan itu) adalah satu bukti justru adanya faham yang dihembuskan dari UIN Jakarta adalah yang menentang ayat Al-Qur’an itu. Membela kekufuran dengan kekufuran

Lebih nyata lagi ketika Muqsith membela IAIN dengan faham kekufuran. Yaitu kilah bahwa IAIN tidak mengadakan pemurtadan tetapi pluralisasi penafsiran. Lalu yang diangkat sebagai contoh adalah faham Ikhwanus Shofa’ yang tidak perlu melaksanakan yang fardhu-fardhuib-wajib dan cukup dengan bertasbih.

Hartono Ahmad Jaiz membalikkan kepada Muqsith, justru faham yang tidak perlu mengerjakan yang fardhu-fardhuib-wajib itulah yang sebenar-benarnya kekafiran. Dan itu sudah dikemukakan kekafirannya dalam Kitab Tafsir Al-Qurthubi dan Imam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Al-Fatawa.

Yang dimaksud Hartono itu adalah apa yang ditulis Imam Al-Qurthubi yang dimulai dengan menukil ulasan gurunya, al-Imam Abu al-’Abbas, mengenai golongan ahli kebatinan yang dihukumi sebagai zindiq yaitu: “Mereka itu berkata: Hukum-hukum syara’ yang umum adalah untuk para nabi dan orang awam. Adapun para wali dan golongan khusus tidak memerlukan nas-nas (agama), sebaliknya mereka hanya dituntut dengan apa yang terdapat dalam hati mereka. Mereka berhukum berdasarkan apa yang terlintas dalam fikiran mereka.

” Golongan ini juga berkata: “Inidisebabkan kesucian hati mereka dari kekotoran dan keteguhannya maka terjelmalah kepada mereka ilmu-ilmu ilahi, hakikat-hakikat ketuhanan,mereka mengikuti rahasia-rahasia alam, mereka mengetahui hukum-hukumyang detil, maka mereka tidak memerlukan hukum-hukum yang bersifat umum, seperti yang berlaku kepada Khidir. Mencukupi baginya (Khidir) ilmu-ilmu yang terbuka (tajalla) kepadanya dan tidak memerlukan apa yang ada pada kefahaman Musa.” Golongan ini juga menyebut: “Mintalah fatwa dari hatimu sekalipun engkau telah diberikan fatwa oleh para penfatwa.”

Selanjutnya al-Qurtubi mengulas dakwaan-dakwaan ini dengan berkata: “Kata guru kami r.a.: Ini adalah perkataan zindiq dan kufur, dibunuhlah siapa pun yang mengucapkannya dan dia tidak diminta taubatnya, karena dia telah ingkar terhadap apa yang diketahui dari syariat. Sesungguhnya Allah telah menetapkan jalan-Nya dan melaksanakan hikmah-Nya bahwa hukum-hukum-Nya tidak diketahui melainkan melalui perantaraan rasul-rasul yang menjadi para utusan antara Allah dan makhluk-Nya. Mereka adalah penyampai risalah dan perkataan-Nya serta pengurai syariat dan hukum-hukum. Allah memilih mereka untuk itu dan mengkhususkan urusan ini hanya untuk mereka.”

“Telah menjadi ijma’ salaf dan khalaf bahwa tidak ada jalan mengetahui hukum-hukum Allah yang berhubungan dengan suruhan dan larangan-Nya walaupun sedikit, melainkan melalui para Rasul. Maka siapa yang berkata “Disana ada cara lain untuk mengetahui suruhan dan larangan Allah tanpa melalui para rasul atau tidak memerlukan para rasul” maka dia adalah kafir, dihukum bunuh tidak diminta bertaubat, dan tidak diperlukan untuk tanya jawab dengannya (al-Jami’ li Ahkam al-Quran jilid 11, halaman 40-41, cetakan Dar al-Fikr, Beirut).

Gejala Pemurtadan di IAIN

Hartono Ahmad Jaiz menguraikan gejala-gejala pemurtadan di AIN, di antaranya buku Harun Nasution untuk IAIN berjudul Islam Dipandang dari Berbagai Aspeknya menyatakan bahwa agama monotheisme itu Islam, Kristen (Protestan dan Katolik), dan Hindu. Juga buku Sejarah Pembaharuan Pemikiran Islam tulisan Harun Nasution untuk IAIN diantara isinya menyebut Rifaat At-Tahtawi (Mesir) sebagai pembaharu, dan bahkan dalam makalah dosen IAIN di bawah bimbingan Harun Nasution di SPS (Studi Purna Sarjana) di IAIN Jogja 1977, Rifaat At-Tahtawi yang menghalalkan dansa-dansa laki perempuan disebut sebagai pembuka pintu ijtihad. Ini adalah penyesatan. Mana ada pembaru dalam Islam menghalalkan yang haram. Padahal dalam hadits, ada potensi zina bagi mata, tangan, mulut, hati dan dibenarkan atau dibohongkan oleh farji/ kemaluan kata Hartono.

Hal itu dibantah Abdul Muqsith Ghozali dengan kitab I’anatut Tholibin terbitan Toha Putra Semarang, dengan dibacakan tentang definisi zina, lalu Muqsith mengatakan, kalau hasyafah (kemaluan lali-laki) ditekuk maka bukan zina. Begitu juga dengan tangan.

Hartono menjawab, “bagaimana ini, tentang zina, tangan punya potensi zina itu saya mengutip hadits Nabi saw. Kenapa hadits Nabi dibantah pakai kitab I’anatut Tholibin? Ya seperti inilah keluaran dari IAIN,” tegas Hartono dengan menuding Muqsith yang di sebelah kanannya. Attamimi dengan suara lantang menantang Ulil Abshar Abdalla yang menolak hadits, yang walaupun shohih di kitab Bukhori, namun menurut Ulil tidak sesuai, maka ulil menolaknya. Contohnya hadis tentang orang sholat jadi batal karena adanya yang lewat yaitu anjing, orang perempuan, dan khimar/keledai. Kata Ulil, “di sini perempuan disamakan dengan anjing dan keledai. Jadi saya tolak, walaupun itu ada di Kitab Shohih Bukhori,” kata Ulil.

Kata At-Tamimi, “apakah anda ini ahli hadits? Apa keahlian anda. Dalam hal ilmu agama ini tidak bisa hanya dengan perkataan `pendapat saya’. Di ilmu teknik dunia saja tidak bisa dengan `pendapat saya’ . Memang anda ahli apa? Apakah ahli hadits? Saya tantang anda bicara tentang hadits. Bahkan kumpulkan seluruh orang JIL, cukup saya hadapi sendirian. Tidak bisa bicara agama kok `menurut saya’, `menurut saya’. Bukan hanya perempuan yang disamakan dengan binatang, semua laki-laki yang tidak percaya kepada Al-Qur’an dan As-sunnah seperti anda ini dinyatakan dalam Al-Qur’an seperti binatang,” seru At-Tamimi dengan lantang, disambut dengan suara gemuruh hadirin.

Dua orang yang membela IAIN dan ingin merobohkan fakta pada buku Ada Pemurtadan di IAIN itu setelah gagal memberikan cap-cap buruk karena dibalikkan dengan telak, maka justru menolak hukum Allah (sebagian ditentang, dan bahkan dinyatakan tidak ada hukum Tuhan), dan menolak hadits walaupun diakui shahih.

Di situ justru pada dasarnya mereka menampakkan tambahan bukti yang ada pada ungkapan-ungkapan mereka sebagai alumni, dosen dan pembela IAIN bahwa sebenarnya IAIN memang jelas ada pemurtadan. Jadi, mereka mau menepis Adanya pemurtadan di IAIN tetapi justru terperosok pada penguatan bahwa memang benar ada pemurtadan di IAIN secara sistematis. Itu tentu saja sangat berbahaya.

Buku Ada Pemurtadan di IAIN dibedah pertama kali di Islamic Book Fair di Istora Senayan Jakarta, Ahad 27 Maret 2005. Pembicara Dr Roem Rowi dosen pasca sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, dosen tafsir; dan penulis buku Hartono Ahmad Jaiz. Hadirin sekitar 500 orang. Dr Roem Rowi mengakui, di IAIN dia mengajar tafsir, namun mahasiswanya dirusak oleh pemikiran-pemikiran yang diajarkan dalam materi pemikiran Islam (dan sejarah kebudayaan Islam), yang itu justru materi kuliah dasar, semua mahasiswa harus ikut.

Sehingga, ketika ditanya peserta bedah buku, ke mana untuk mendidikkan anak di perguruan tinggi yang islami, Dr Roem Rowi tidak memberikan rekomendasi, hanya menunjuk di antaranya Universitas Islam Internasional di Malaysia. Sedangkan ketika ditanya tentang kurikulum, seberapa peran menteri agama dalam membuat kurikulum di IAIN, Roem Rowi menjawab, menteri agama masa lalu ya hanya mengikuti Dr Harun Nasution. “Seakan perkataan Harun Nasution itu qoululloh (firman Alloh) bagi menteri agama yang lalu,” ujar Roem Rowi yang meraih gelar doktornya dari Universitas al-Azhar Mesir ini.

Disebut Ada Pemurtadan di IAIN, menurut buku itu, karena kurikulumnya, materi kuliahnya, sistem pengajarannya, cara mengajarnya, dan dosen-dosennya banyak yang tidak sesuai dengan sistem pemahaman Islam yang benar. Tidak merujuk kepada Al-Qur’an, As-Sunnah, dengan manhaj salafus shalih. Tetapi yang dijadikan mata kuliah dasar justru sejarah pemikiran Islam dan sejarah kebudayaan Islam, yang semuanya bukan dasar Islam, dan disampaikan tidak secara ilmu islami, tidak merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan sistem pemahaman yang benar. Diajarkan secara liar, yaitu tanpa sanad (pertalian riwayat) hingga boleh berkomentar apa saja sampai menghina para sahabat sekalipun. Akibatnya, alumni IAIN tidak bisa membedakan antara madzhab-madzhab (yang perbedaannya itu dalam wilayah furu’/ cabang, jadi boleh saja) dengan sekte-sekte sesat (firoq dhollah) yang sudah berbeda dengan hal pokok yang benar. Bahkan sampai tak bisa membedakan antara mukmin dengan kafir, ketika diajari tasawuf falsafi dan apa yang disebut filsafat Islam (semuanya dalam materi kuliah sejarah pemikiran Islam dalam mata kuliah dasar). Akibatnya, mereka menyamakan semua agama. Itulah sebenar-benarnya pemurtadan secara sistematis lewat jalur perguruan tinggi Islam se-Indonesia baik negeri maupun swasta. Maka kurikulum, sistem pengajaran, materi, metode, dan dosen pengajarnya perlu ditinjau ulang. Pembelajaran dosen-dosen IAIN ke Barat untuk studi Islam pun perlu dihentikan, menurut penulis buku, karena itu menjadi sumber utama pemurtadan tersebut.

Usai bedah buku di UIN Jakarta, hadirin pun berjama’ah shalat dhuhur, tanpa ada dosen ataupun mahasiswa UIN yang maju jadi imam, hingga Ustadz Mustofa Aini seorang hadirin alumni Universitas Islam Madinah maju untuk mengimami setelah agak lama ditunggu-tunggu tak ada yang maju. Ulil, Muqsith dan sebagian besar panitia dari BEM Fak Usuhuluddin dan Filsafat UIN Jakarta tidak tampak ikut shalat berjama’ah. Mereka berada di mihrab sebelah imaman. Kemudian Ulil diiringi para panitia turun dan pulang setelah hadirin yang shalat berjama’ah telah bubar pulang.

“Kampus Islam tidak mencerminkan Islam,” keluh di antara yang hadir.

SEKILAS HASMI

I MUKADIMAH

Saudara se-Islam yang beriman…

Ini adalah risalah untuk Anda dari sebuah Harakah Islamiyyah…

Sebuah gerakan Islam yang bercita-cita dan berusaha untuk menjadikan tatanan masyarakat Kita sebagai suatu tatanan Islami. Menjadikan masyarakat Indonesia Kita, masyarakat Islami. Masyarakat yang berjalan dan bernaung dibawah bendera Rabbani, dibawah syari’at Allah Rabbul ‘alamin. Masyarakat yang berbahagia di dunia dan di akhirat, masyarakat yang muthmainnah dibawah rahmat dan keadilan Zat Yang Maha Mulia. Terselamatkan dari kedhaliman manusia dan hukuman bencana karena pembangkangan terhadap norma-norma yang ditentukan Sang Pencipta dan Pemilik alam semesta, Allah Azza wa Jalla.

Harakah ini telah bertekad bulat untuk mencapai cita-cita yang suci ini dengan jalan da’wah, merubah manusia, anggota-anggota masyarakat untuk kemudian merekalah yang akan merubah tatanan dan perilaku kemasyarakatan mereka sendiri.

II. Nama, Makna, dan Tujuan.

Harakah ini menamakan dirinya “Harakah Sunniyyah untuk Masyarakat Islami” disingkat: HASMI.

Walaupun kegiatan HASMI yang tidak resmi telah dimulai lebih dari lima tahun yang lalu, tapi pendirian HASMI secara resmi dengan akte notaris resmi baru terjadi tgl. 18 November 2005M, akte No. 20.

Nama resmi telah dipilih untuk menggambarkan dasar, sifat dan tujuan harakah. Sekedar untuk memperjelas gambaran tersebut, Kami mencoba menjelaskan kandungan nama ini sesingkat mungkin agar tidak membosankan Anda. Dengan memakai istilah harakah, Kami mencoba menggambarkan bahwa organisasi ini adalah organisasi yang tiada hentinya “bergerak” menuju tujuan dengan “vitalitas penuh”.

Sedangkan kata “Sunniyyah” menekankan bahwa harakah ini berjalan diatas Sunnah Rasulullah SAW dan menolak seluruh bentuk bid’ah. Karena semua bid’ah adalah kesesatan. Kata “Sunniyyah” juga menggambarkan salah satu tujuan utama, yaitu menghidupkan sunnah (sunnah disini artinya Islam yang murni seperti yang diajarkan Rasulullah SAW) dan mengikis habis bid’ah dari kehidupan kaum muslimin, agar keimanan dan peribadatan mereka menjadi benar dan diterima oleh Allah SWT.

Adapun kata-kata “Masyarakat Islami” adalah pencanangan tujuan final dari harakah ini.

Dengan demikian, nama ini Kami anggap sudah cukup memperkenalkan jati diri sang empunya.

III. Jalan Menuju Tujuan.

Jalan yang Kami anggap terlayak untuk menuju tujuan pada kondisi dan situasi masa kini dan di bumi Indonesia yang Kita cintai ini adalah “jalan da’wah”. Yaitu jalan merubah jiwa-jiwa anggota masyarakat agar menjadi jiwa-jiwa yang benar-benar Islami.

Jalan inilah yang dititi oleh para Nabi dalam menyampaikan amanah yang Allah SWT bebankan atas mereka. Demikian pula Rasulullah SAW yang telah mendirikan masyarakat Islami pertama di Madinah dengan cara da’wah.

Dalam menempuh jalan ini Kami mencoba mencanangkan beberapa program utama, diantaranya adalah;

1. Ceramah, seminar, internet Islami dan lain-lain. 2. Mencetak kader-kader da’i dengan tingkat keilmuan yang sangat dibutuhkan masyarakat. 3. Mengirim dan membina kader-kader da’i ke seluruh pelosok Nusantara, dengan prioritas pertama Pulau Jawa. 4. Menciptakan produk-produk Islami untuk membantu perumputan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, seperti; buku, majalah, CD, stiker, dan lain-lain. 5. Menggalang sumber-sumber bisnis praktis. 6. Menggalang “Infaq Peduli Masyarakat Islami”.

Saudaraku se-Islam yang beriman….

Islam adalah Dien yang sempurna…

Kesempurnaan ini dikarenakan din ini berasal dari Zat Yang Maha Sempurna, Allah Azza wa Jalla…

Ketika Kita bertekad untuk menegakkan Islam secara menyeluruh, maka Kita telah mencanangkan suatu tujuan yang sangat besar…hal ini benar-benar sangat jauh dibanding keadaan Kita yang sangat terpuruk dan porak-poranda…terlalu banyak persoalan yang harus diperbaiki sehingga ketika salah memilih dalam memulai pekerjaan besar ini, Kita akan terjebak dalam padang kesesatan yang tidak akan pernah menghantarkan kepada tujuan yang mulia ini…

Setiap ummat memiliki spesifikasi problematikanya disetiap zaman dan tempat, dari sekian banyak problematika, maka ada beberapa problematika spesifik ummat ini (terutama Indonesia) yang jika diperbaiki akan baiklah yang lainnya, dan jika setiap individu sepakat untuk merombaknya yang dimulai dari dirinya sendiri, maka akan baiklah ummat ini di kemudian hari…

Problematika ini Kami tuangkan dalam suatu paket slogan yang Kami pilih untuk menjadi “INTI DA’WAH HASMI”, yaitu;

1. Tegakkan Tauhid, Lenyapkan Syirik..!! 2. Terapkan Syariat Alloh..!! 3. Wujudkan masyarakat Islami..!! 4. Hidupkan Sunnah, Matikan Bid’ah..!! 5. Tinggalkan Kemaksiatan..!!

Demikianlah…

Marilah Kita jadikan slogan ini sebagai kalimat kebersamaan..!! By: Al-Ustadz Abu Hanifah Muhammad Faishal alBantani al-Jawy, Spd, I (Yayasan Al-Qolam, Bekasi)

” Menjawab Kebohongan Ahmadiyah ”

Berbagai penganut “aliran sesat” sudah terbiasa menggunakan kiat-kiat untuk mengelabui dan membohongi masyarakat dalam menyebarluaskan paham-pahamnya

Oleh: Ustadz H. Muhammad Amin Jamaluddin *

ImageBerbagai aliran sesat sudah terbiasa menggunakan kiat-kiat untuk mengelabui dan membohongi masyarakat dalam menyebarluaskan paham-pahamnya. Berbagai kebohongan, pengaburan, dan tipu daya juga seringkali dimunculkan dalam kasus seputar Ahmadiyah. Pada tanggal 3 Januari 2008, Jemaat Ahmadiyah Indonesia berkirim surat berupa “Ringkasan Penjelasan tentang Jemaat Ahmadiyah Indonesia” kepada Azyumardi Azra di kantor Sekretariat Wakil Presiden.

Tulisan ringkas berikut ini merupakan jawaban-jawaban ringkas dan jitu untuk meluruskan beberapa penjelasan kaum Ahmadiyah, seperti dalam surat mereka ke Azyumardi Azra di kantor Wapres tersebut. Berikut ini beberapa penjelasan Ahmadiyah dan jawaban kita. Ahmadiyah mengatakan:

1. “Syahadat kami adalah syahadat yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW yang berbunyi: “Asyhadu anlaa-ilaaha illallahu wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah.”

Jawab kita:

Kita perlu berhati-hati dan mencermati pengakuan semacam itu. Sejak berdirinya, Jemaat Ahmadiyah sudah mengaburkan makna syahadat, meskipun lafalnya sama dengan syahadat orang Islam. Kaum Ahmadiyah mengklaim bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah juga Muhammad dan Rasul Allah. Simaklah buku Memperbaiki Kesalahan (Eik Ghalthi Ka Izalah), karya Mirza Ghulam Ahmad, yang dialih bahasakan oleh H.S. Yahya Ponto, (terbitan Jamaah Ahmadiyah cab. Bandung, tahun 1993). Di situ tertulis penjelasan terhadap ayat al-Quran berikut ini:

محمد رسول الله والذين معه أشداء على الكفار رحماء بينهم …

Dalam buku ini, Mirza Ghulam Ahmad menjelaskan, siapa yang dimaksud dengan “Muhammad” dalam ayat tersebut, yakni: “Dalam wahyu ini Allah SWT menyebutku Muhammad dan Rasul…(hal. 5).

Jadi, inilah perbedaan keimanan yang sangat mendasar antara Ahmadiyah dengan orang Muslim. Sebab, bagi umat Islam, kata Muhammad dalam syahadat, adalah Nabi Muhammad saw yang lahir di Mekkah, bukan yang lahir di India. Lebih jauh lagi, dikatakan dalam buku ini:

“Dan 20 tahun yang lalu, sebagai tersebut dalam kitab Barahin Ahmadiyah Allah Taala sudah memberikan nama Muhammad dan Ahmad kepadaku, dan menyatakan aku wujud beliau juga.” (Hal. 16-17). “….. Dalam hal ini wujudku tidak ada, yang ada hanyalah Muhammad Musthafa SAW, dan itulah sebabnya aku dinamakan Muhammad dan Ahmad.” (Hal. 25)

Dalam Majalah Bulanan resmi Ahmadiyah “Sinar Islam” edisi 1 Nopember 1985 (Nubuwwah 1364 HS), rubrik “Tadzkirah”, disebutkan:

“Dalam wahyu ini Tuhan menyebutkanku Rasul-Nya, karena sebagaimana sudah dikemukakan dalam Brahin Ahmadiyah, Tuhan Maha Kuasa telah membuatku manifestasi dari semua Nabi, dan memberiku nama mereka. Aku Adam, Aku Seth, Aku Nuh, Aku Ibrahim, Aku Ishaq, Aku Ismail, Aku Ya’qub Aku Yusuf, Aku Musa, Aku Daud, Aku Isa, dan Aku adalah penjelmaan sempurna dari Nabi Muhammad SAW, yakni aku adalah Muhammad dan Ahmad sebagai refleksi. (Haqiqatul Wahyi, h. 72).” (Hal. 11-12)

Sekali lagi, yang menjadi masalah adalah bahwa bagi kaum Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad juga mengaku sebagai Muhammad saw, sebagaimana disebutkan sebelumnya. Bahkan, dalam buku Ajaranku, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s., Yayasan Wisma Damai, Bogor, cetakan keenam,1993, disebutkan: “….. di dalam syariat Muhammad s.a.w akulah Masih Mau’ud. Oleh karena itu aku menghormati beliau sebagai rekanku …..” (Hal. 14)

Ahmadiyah mengatakan;

2. “Kitab Suci kami hanyalah Al Qur’anul Karim.” Ahmadiyah juga mengatakan, bahwa “Tadzkirah” bukanlah kitab suci mereka, tetapi merupakan pengalaman rohani Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad yang dikumpulkan dan dibukukan serta diberi nama Tadzkirah oleh pengikutnya pada tahun 1935 (27 tahun setelah Mirza Ghulam Ahmad meninggal dunia tahun 1908).

Jawab kita:

Penjelasan Ahmadiyah ini juga tidak sesuai dengan kenyataan. Dalam kitab Tadzkirah yang asli tertulis di lembar awalnya kata-kata berikut ini: “TADZKIRAH YA’NI WAHYU MUQODDAS”, artinya TADZKIRAH adalah WAHYU SUCI. Jadi, kaum Ahmadiyah jelas menganggap bahwa kitab Tadzkirah adalah “wahyu yang disucikan”. Karena itu, sangat tidak benar jika mereka tidak mengakuinya sebagai Kitab Suci. Sangat jelas, mereka memiliki kitab suci lain, selain al-Quran, yaitu kitab Tadzkirah.

Tentu saja, umat Islam seluruh dunia menolak dengan tegas, bahwa setelah Nabi Muhammad saw, ada nabi lagi, atau ada orang yang menerima wahyu dari Allah SWT. Dalam buku Apakah Ahmadiyah itu? Karangan HZ. Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad disebutkan:

“Hadhrat Masih Mau’ud a.s tampil ke dunia dan dengan lantangnya menyatakan, bahwa Allah Ta’ala bercakap-cakap dengan beliau dan bukan dengan diri beliau saja, bahkan Dia bercakap-cakap dengan orang-orang yang beriman kepada beliau serta mengikuti jejak beliau, mengamalkan pelajaran beliau dan menerima petunjuk beliau. Beliau berturut-turut mengemukakan kepada dunia Kalam Ilahi yang sampai kepada beliau dan menganjurkan kepada para pengikut beliau, agar mereka pun berusaha memperoleh ni’mat serupa itu.” (hal. 63-64).

3. “Kami warga Jemaat Ahmadiyah tidak pernah dan tidak akan mengkafirkan orang Islam di luar Ahmadiyah, baik dengan kata-kata maupun perbuatan.”

Jawab kita:

Pengakuan kaum Ahmadiyah ini pun nyata-nyata tidak sesuai dengan fakta yang ada pada buku-buku dan terbitan mereka. Dalam buku Amanat Imam Jemaat Ahmadiyah Khalifatul Masih IV Hazrat Mirza Tahir Ahmad Pada Peringatan Seabad Jemaat Ahmadiyah Tahun 1989 terbitan Panita Jalsah Salanah 2001, 2002 Jemaat Ahmadiyah Indonesia, disebutkan:

“Saya bersaksi kepada Tuhan Yang MahaKuasa dan Yang Selamanya Hadir bahwa seruan Ahmadiyah tidak lain melainkan kebenaran. Ahmadiyah adalah Islam dalam bentuknya yang sejati. Keselamatan umat manusia bergantung pada penerimaan agama damai ini.” (Hal. 6)

“Bilakhir, perkenankanlah saya dengan tulus ikhlas mengetuk hati anda sekalian sekali lagi agar sudi menerima seruan Juru Selamat di akhir zaman ini.” (Hal. 10)

Bahkan, Ahmadiyah punya istilah sendiri untuk menamai para pengikut ajarannya, dengan tujuan membedakan diri dari orang-orang Islam lainnya:

Dalam buku Riwayat Hidup Mirza Ghulam Ahmad - Imam Mahdi dan Masih Mau’ud Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, cetakan kedua, 1995, disebutkan:

“Pada tahun 1901, akan diadakan sensus penduduk di seluruh India. Maka Hazrat Ahmad as. menerbitkan sebuah pengumuman kepada seluruh pengikut beliau untuk mencatatkan diri dalam sensus tersebut sebagai Ahmadi Muslim. Yakni, pada tahun itulah Hazrat Ahmad as. telah menetapkan nama Ahmadi bagi para pengikut beliau as., untuk membedakan diri dari orang-orang Islam lainnya.” (Hal. 47)

Kaum Ahmadiyah juga menyebut, jemaat mereka adalah laksana perahu Nabi Nuh yang menyelamatkan. Yang tidak ikut perahu itu akan tenggelam. Dalam Majalah Bulanan resmi Ahmadiyah “Sinar Islam” edisi 1 Juli 1986 (Wafa 1365 HS), pada salah satu tulisan dengan judul Ahmadiyah Bagaikan Bahtera Nuh Untuk Menyelamatkan Yang Berlayar Dengannya, oleh Hazrat Mirza Tahir Ahmad, Khalifatul Masih IV, dinyatakan:

“Aku ingin menarik perhatian kalian kepada sebuah bahtera lainnya yang telah dibuat di bawah mata Allah dan dengan pengarahanNya. Kalian adalah bahtera itu, yakni Jemaat Ahmadiyah. Masih Mau’ud a.s. diberi petunjuk oleh Allah melalui wahyu yang diterimanya bahwa beliau hendaklah mempersiapkan sebuah Bahtera. Bahtera itu adalah Jemaat Ahmadiyah yang telah mendapat jaminan Allah bahwa barang siapa bergabung dengannya akan dipelihara dari segala kehancuran dan kebinasaan.”.………….

“Ini adalah suatu pelajaran lain yang hendaknya diperhatikan oleh anggota-anggota Jemaat. Sungguh terdapat jaminan keamanan bagi mereka yang menaiki Bahtera Nuh, baik bagi para anggota keluarga Masih Mau’ud a.s. maupun bagi orang-orang yang, meskipun tidak mempunyai hubungan jasmani dengannya, menaiki Bahtera itu dengan jalan mengikuti ajaran beliau”. ………….

“Semoga Allah memberi kemampuan kepada kita untuk melindungi Bahtera ini dengan sebaik-baiknya, dengan ketakwaan dan ketabahan yang sempurna, dan dengan kebenaran yang sempurna – Bahtera yang telah dibina demi keselamatan seluruh dunia. Amin!”. (Hal. 12, 13, 16, 30)

Kesimpulan:

Kita jangan mudah tertipu dengan penjelasan-penjelasan yang tampak indah, padahal, dunia Islam sejak dulu sudah tahu, apa dan bagaimana sebenarnya ajaran Ahmadiyah. Intinya, mereka mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi, Isa al-Mau’ud, dan Imam Mahdi. Mereka juga tidak mau bermakmum kepada orang Islam dalam shalat, karena orang Islam tidak mengimani Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi.

Jadi, antara Islam dan Ahmadiyah memang ada perbedaan dalam masalah keimanan. Oleh sebab itulah, berbagai fatwa lembaga-lembaga Islam internasional sudah lama menyatakan, bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat dan menyesatkan. Kita berharap para pejabat dan cendekiawan kita tidak mudah begitu saja menerima penjelasan Ahmadiyah, tanpa melakukan penelitian yang mendalam. Sebab, tanggung jawab mereka bukan saja di dunia, tetapi juga di akhirat. Kita hanya mengingatkan mereka, tanggung jawab kita masing-masing di hadapan Allah SWT.

Penulis adalah Ketua Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI), Jakarta

Pacaran begitu familiar di kalangan anak muda. Seakan-akan mereka kehilangan rasa percaya diri kalau belum melakukannya. Minimal, dianggap tidak gaul. Fenomena ini sangat jelas jika kita memperhatikan kehidupan para remaja di sekitar kita.

Pacaran memang ada manfaatnya untuk mengenal karakter masing-masing pasangan agar kelak mereka tidak canggung. Namun, manfaat pacaran tidak seberapa dibandingkan dengan bahaya yang mengintai pelakunya. Muhammad bin Abdul Aziz al-Misnad menyebutkan paling tidak ada enam bahaya pacaran.

Judul Buku : Bahaya Pacaran Sebelum Menikah

Penulis : Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz al-Misnad

Penerjemah : Muhammad Syafii Masykur, S.Ag, M.Hum

Penerbit : Pustaka Fahima

Harga : Rp. 16.000 (belum discount)

Bila Berminat hubungi Syafii (0274)7424124

” Hukum Merayakan Valentine’s Day ” Oleh: Abu Hanifah Muhammad Faishal alBantani al-Jawy

Hari ‘kasih sayang’ yang dirayakan oleh orang-orang Barat pada tahun-tahun terakhir yang disebut “Valentine’s Day” amat populer dan merebak di berbagai pelosok Indonesia. Terlebih lagi di saat menjelang bulan Februari di mana banyak kita temui simbol-simbol atau iklan-iklan tidak syar’i demi mewujudkan dan mengekspos (mempromosikan) hari Valentine. Berbagai tempat hiburan bermula dari diskotik, hotel-hotel, organisasi-organisasi dan kelompok-kelompok kecil, mereka berlomba-lomba menawarkan acara untuk merayakan Valentine. Dengan dukungan (pengaruh) media massa seperti surat kabar, radio, televisi, dan yang lainnya. Sebagian besar kaum muslimin juga turut dicekoki (dihidangkan) dengan berbagai slogan dan iklan-iklan Valentine’s Day.

Berbicara tentang sejarah Valentine, ada berbagai versi menceritakan tentang asal mula ajaran ini. Namun semua berita tersebut tanpa disertai sanad yang jelas untuk dapat mengecek keabsahan riwayatnya. Sekedar untuk diketahui, bahwa di antara mereka ada yang menyebutkan bahwa dahulu, seorang pemimpin agama Katolik bernama Valentine bersama rekannya Santo Marius secara diam-diam menentang pemerintahan Kaisar Claudius II kala itu. Pasalnya, kaisar tersebut menganggap bahwa seorang pemuda yang belum berkeluarga akan lebih baik performanya ketika berperang. Ia melarang para pemuda untuk menikah demi menciptakan prajurit perang yang potensial.

Nah, Valentine tidak setuju dengan peraturan tersebut. Ia secara diam-diam tetap menikahkan setiap pasangan muda yang berniat untuk mengikat janji dalam sebuah perkawinan. Hal ini dilakukannya secara rahasia.

Lambat laun, aksi yang dilakukan oleh Valentine pun tercium oleh Claudius II. Valentine harus menanggung perbuatannya. Ia dijatuhi hukuman mati. Ada sebuah sumber yang menceritakan bahwa ia mati karena menolong orang-orang Kristen melarikan diri dari penjara akibat penganiayaan.

Dalam cerita tersebut, Valentine didapati jatuh hati kepada anak gadis seorang sipir, penjaga penjara. Gadis yang dikasihinya senantiasa setia untuk menjenguk Valentine di penjara kala itu. Tragisnya, sebelum ajal tiba bagi Valentine, ia meninggalkan pesan dalam sebuah surat untuknya.

Menurut cerita tersebut, Ada tiga buah kata yang tertulis sebagai tanda tangannya di akhir surat dan menjadi populer hingga saat ini-‘From Your Valentine’. Ekspresi dari perwujudan cinta Valentine terhadap gadis yag dicintainya itu masih terus digunakan oleh orang-orang masa kini. Akhirnya, sekitar 200 tahun sesudah itu, Paus Gelasius meresmikan tanggal 14 Febuari tahun 496 sesudah Masehi sebagai hari untuk memperingati Santo Valentine.

Versi lain tentang Valentine dimulai pada zaman Roma kuno tanggal 14 Febuari. Ini merupakan hari raya untuk memperingati Dewi Juno. Ia merupakan ratu dari segala dewa dan dewi kepercayaan bangsa Roma. Orang Romawi pun mengakui kalau dewi ini merupakan dewi bagi kaum perempuan dan perkawinan. (dari berbagai sumber)

Namun yang jelas, bahwa ini bukan berasal dari Islam, namun lebih mendekati sebuah tradisi yang bernuansa Kristiani dari Roma Kuno. Jika demikian keadaannya, maka ini sudah cukup bagi Kaum Muslimin menyadari bahwa hal itu tidak ada hubungannya dengan Islam sama sekali, dan menyerupai kebiasaan orang-orang kafir.

Berikut ini, kami akan nukilkan beberapa fatwa para ulama yang menjelaskan tentang perayaan tersebut.

Fatwa Lajnah Da’imah (Lembaga Fatwa Arab Saudi) Fatwa Lembaga Tetap untuk Pembahasan Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi Fatwa nomor (21203), tanggal: 23-11-1320H

Segala puji bagi Allah semata, shalawat dan salam atas hamba yang tidak ada nabi setelahnya. Amma ba’du:

Lembaga Tetap untuk Pembahasan Ilmiah dan Fatwa telah menelaah apa yang telah disampaikan kepada yang terhormat Mufti Umum, dari yang meminta fatwa: Abdullah bin Aalu Rabi’ah, dan disampaikan kepada Lembaga Seksi Amanah Umum - Lembaga Kibaarul Ulama (ulama besar), nomor: 5324, tanggal: 3-11-1420H.

Yang memohon fatwa menyampaikan pertanyaan yang teksnya sebagai berikut:

“Sebagian manusia ada yang merayakan hari ke 14 dari bulan Februari setiap tahun dengan hari kasih sayang “valentine’s day” (hari valentine). Dimana mereka saling memberi hadiah berupa mawar merah dan memakai pakaian berwarna merah, dan mereka saling memberi selamat, dan sebagian warung/restoran pembuat kue membuat kue dengan warna merah, lalu diberi gambar hati di atasnya. Sebagian toko ada yang memberi beberapa pemberitahuan di sebagian barang dagangannya yang berkenaan dengan kekhususan hari tersebut. Maka apa pendapatmu tentang:

- hukum merayakan hari tersebut?

- Membeli dari toko-toko tersebut pada hari itu?

- Sebagian toko (yang tidak merayakan hari itu) menjual kepada yang merayakannya sebagian apa yang dihadiahkan di hari tersebut?

Semoga Allah membalas kebaikanmu.”

Setelah lembaga mempelajari pertanyaan tersebut, maka lembaga ini menjawab bahwa telah ditunjukkan berdasarkan dalil-dalil yang jelas dari Al-kitab dan As-sunnah, dan telah sepakat umat ini atasnya, bahwa hari raya di dalam Islam hanyalah dua: yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Adapun selain keduanya dari berbagai perayaan apakah yang berhubungan dengan seseorang, sekelompok orang, atau satu kejadian, atau dengan makna apa saja, maka itu merupakan perayaan-perayaan yang bid’ah, tidak boleh bagi Kaum Muslimin melakukannya, menyetujuinya, dan menampakkan kegembiraan dengannya, atau membantunya dengan sesuatu. Sebab hal tersebut termasuk ke dalam sikap melanggar batasan-batasan Allah, dan barangsiapa yang melanggar batasan-batasan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka sungguh dia telah menzhalimi dirinya sendiri. Apabila perayaan yang diada-adakan tersebut berasal dari perayaan orang-orang kafir, maka ini berarti dosa di atas dosa, sebab menyerupai mereka, dan itu merupakan bentuk loyalitasnya kepada mereka. Dan sungguh Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah melarang Kaum Mukminin menyerupai mereka dan bersikap loyal kepada mereka dalam kitab-Nya yang agung. Dan telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bahwa beliau bersabda:

من تشبه بقوم فهو منهم

“Barangsiapa yang menyerupai satu kaum, maka dia termasuk mereka.” (HR. Abu Dawud dari Abdullah bin Umar)

Hari kasih sayang termasuk diantara jenis perayaan yang disebutkan, sebab ia termasuk di antara perayaan berhala Nashrani. Maka tidak halal bagi seorang muslim yang beriman kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan hari akhir melakukannya, atau menyetujuinya, atau mengucapkan selamat, namun yang wajib adalah meninggalkannya dan menjauhinya, sebagai wujud menjawab panggilan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dan menjauhkan diri dari berbagai sebab yang mendatangkan kemurkaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan siksaan-Nya. Sebagaimana pula diharamkan atas seorang muslim membantu perayaan tersebut, atau yang lainnya dari berbagai perayaan yang diharamkan, dengan jenis apapun, baik berupa makanan, minuman, menjual, membeli, membuat, hadiah, saling berkirim surat, atau pemberitahuan, atau yang lainnya. Sebab itu semua termasuk ke dalam sikap saling tolong menolong di atas dosa dan permusuhan, dan kemaksiatan kepada Allah dan rasul-Nya. Dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah: 2)

Wajib atas seorang muslim berpegang teguh dengan Kitabullah dan As-Sunnah dalam setiap keadaannya, terlebih lagi pada waktu-waktu terjadinya fitnah dan banyak terjadi kerusakan. Dan hendaklah seseorang mengerti dan berhati-hati dari terjatuh ke dalam berbagai kesesatan orang-orang yang dimurkai dan orang-orang yang sesat yang fasiq yang yang tidak percaya akan kebesaran Allah, dan mememiliki peduli terhadap Islam. Wajib atas setiap muslim untuk berlindung kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan memohon hidayah kepada-Nya, dan kokoh di atas agamanya, karena tidak ada yang dapat memberi hidayah kecuali Allah, dan tidak ada yang dapat memberi kekokohan kecuali Dia Subhanahu Wa Ta’ala. Dan hanya kepada Allah kita meminta taufiq. Shalawat dan salam atas Nabi kita Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, keluarganya, dan para shahabatnya.

Lembaga Tetap untuk Pembahasan Ilmiah dan Fatwa Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Muhammad Alus Syaikh Anggota: - Shalih bin Fauzan Al-Fauzan - Abdullah bin Abdurrahman Al-Ghudayyan - Bakr bin Abdullah Abu Zaid

Fatwa Muhammad bin Saleh Al-Utsaimin

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya:

“Telah menyebar pada masa-masa akhir ini perayaan ” kasih saying ” (valentine’s day), lebih terkhusus para pelajar wanita, dan ini termasuk di antara hari raya kaum Nashara, dan semuanya diberi model dengan warna merah, baik pakaian, sepatu, dan mereka saling bertukar bunga-bunga berwarna merah. Kami harap dari engkau -yang kami muliakan- penjelasan tentang hukum merayakan hari raya ini, dan apa nasehat engkau kepada Kaum Muslimin dalam perkara-perkara seperti ini? Semoga Allah menjaga dan memeliharamu.

Beliau menjawab: Merayakan hari kasih sayang (valentine’s day) tidak boleh, ditinjau dari beberapa sisi:

Pertama: bahwa itu merupakan perayaan bid’ah, tidak ada asalnya dalam syari’at.

Kedua: bahwa hal tersebut mengantarkan kepada cinta buta dan kerinduan (kepada lawan jenis bukan mahram).

Ketiga: hal tersebut mengantarkan kepada tersibukkannya hati dalam urusan-urusan rendah seperti ini, yang menyelisihi bimbingan salafus shalih.

Maka tidak dihalalkan pada hari ini muncul sesuatu yang itu merupakan bentuk syi’ar terhadap perayaan tersebut, apakah dalam hal makanan, minuman, pakaian, atau saling memberi hadiah, atau yang lainnya.

Wajib bagi seorang muslim merasa mulia dengan agamanya dan jangan dia menjadi seorang yang tidak punya pegangan, mengikuti setiap ada orang yang berteriak (mengajak kepada sesuatu). Aku memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar memberi perlindungan kepada Kaum Muslimin dari segala fitnah yang zhahir maupun yang batin dan semoga Dia senantiasa menolong kita dengan pertolongan dan taufiqNya.

(dari Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah: 16/199)

Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa memberi hidayah kepada kaum muslimin dan dipelihara dari tipuan setan yang berusaha memalingkan manusia dari jalan-Nya. Amin

Fatwa-fatwa Para Ulama ahlusunnah kontemporer, Hukum Ikut serta seputar dalam Pemilu Fatwa Lajnah Da’imah Tentang Sikap Seorang Muslim Terhadap Partai-partai Politik (no. 6290)

Soal : Sebagian orang mengaku dirinya muslim namun tenggelam dalam partai-partai politik, sementara di antara partai-partai itu ada yang mengikuti Rusia dan ada yang mengikuti Amerika. Dan partai-partai ini juga terbagi-bagi menjadi begitu banyak, seperti Partai Kemajuan dan Sosialis, Partai Kemerdekaan, Partai Orang-orang Merdeka –Partai Al Ummah-, Partai Asy Syabibah Al Istiqlaliyyah dan Partai Demokrasi…serta partai-partai lainnya yang saling mendekati satu sama lain.

Bagaimanakah sikap Islam terhadap partai-partai tersebut, serta terhadap seorang muslim yang tenggelam dalam partai-partai itu ? Apakah keislamannya masih sah ?

Jawaban : Barang siapa yang memiliki pemahaman yang dalam tentang Islam, iman yang kuat, keislaman yang terbentengi, pandangan yang jauh ke depan, kemampuan retorika yang baik serta mampu memberikan pengaruh terhadap kebijakan partai hingga ia dapat mengarahkannya ke arah yang Islamy, maka ia boleh berbaur dengan partai-partai tersebut atau bergabung dengan partai yang paling dekat dengan al haq, semoga saja Allah memberikan manfa’at dan hidayah dengannya, sehingga ada yang mendapatkan hidayah untuk meninggalkan gelombang politik yang menyimpang menuju politik yang syar’I dan adil yang dapat menyatukan barisan ummat, menempuh jalan yang lurus dan benar. Akan tetapi jangan sampai ia justru mengikuti prinsip-prinsip mereka yang menyimpang.

Dan adapun orang yang tidak memiliki iman dan pertahanan seperti itu serta dikhwatirkan ia akan terpengaruh bukan memberi pengaruh, maka hendaknya ia meninggalkan partai-partai tersebut demi melindunginya dari fitnah dan menjaga agamanya agar tidak tertimpa seperti yang telah menimpa mereka (para aktifis partai itu) dan mengalami penyimpangan dan kerusakan seperti mereka.

Wabillahittaufiq, Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Ketua : ‘Abdul ‘Aziz ibn ‘Abdillah ibn Baz.

Wakil Ketua : ‘Abdurrazzaq ‘Afifi

Anggota : ‘Abdullah ibn Ghudayyan

Anggota : ‘Abdullah ibn Qu’ud

( Lih. Fatawa Al Lajnah Ad Da’imah vol.12, hal.384 )

Fatwa Syekh Muhammad Nashiruddin Al Albany –rahimahullah- Tentang Keikutsertaan Dalam Pemilu.

Soal Kedua : Apakah hukum syar’I memberikan dukungan dan sokongan berkaitan dengan masalah yang telah disebutkan terdahulu ( maksudnya : pemilihan umum ) ?

Jawaban : Pada saat ini kami tidak menasehati seorangpun dari saudara-saudara kami kaum muslimin untuk mencalonkan dirinya menjadi anggota parlemen yang tidak berhukum kepada hukum Allah, walaupun (negara) itu telah mencantumkan dalam undang-undangnya “agama Negara adalah Islam” sebab teks semacam ini telah terbukti bahwa ia dicantumkan hanya untuk ‘meninabobokkan’ para anggota parlemen yang masih baik hatinya !! Hal itu disebabkan karena ia tidak mampu untuk mengubah satupun pasal-pasal yang terdapat dalam undang-undang itu yang menyelisihi Islam, sebagaimana telah terbukti di beberapa Negara yang undang-undangnya memuat teks tersebut (bahwa “agama Negara adalah Islam”-pen).

Ditambah lagi jika seiring dengan perjalanan waktu, ia kemudian turut pula menyetujui beberapa hukum yang menyelisihi Islam dengan alasan belum tiba / tepat waktunya untuk melakukan perubahan. Sebagaimana yang kita saksikan di beberapa negara, sang anggota parlemen mengubah gaya penampilannya yang Islamy dengan mengikuti gaya Barat agar dapat sejalan dengan (gaya) para anggota parlemen lainnya ! Maka ia masuk ke dalam parlemen dengan tujuan memperbaiki orang lain, malah justru ia telah merusak dirinya sendiri. (Seperti kata pepatah) hujan itu mulanya hanya setetes namun kemudian menjadi banjir ! Oleh sebab itu kami tidak menyarankan seorangpun untuk mencalonkan dirinya (sebagai anggota parlemen). Akan tetapi saya memandang tidak ada halangan bagi rakyat muslim bila dalam daftar calon anggota legsilatif itu terdapat orang-orang yang memusuhi Islam dan terdapat pula calon-calon anggota legislatif muslim dari partai yang memiliki manhaj yang berbeda-beda, maka –dalam kondisi seperti ini- kami menasehatkan agar setiap muslim memilih (calon anggota legislatif) dari kalangan Islam saja dan orang yang paling dekat dengan manhaj yang shahih sebagaimana telah dijelaskan (manhaj salaf-pen).

Saya mengatakan ini –walaupun saya yakin bahwa pencalonan dan pemilihan ini tidak dapat merealisasikan tujuan yang diharapkan seperti telah dijelaskan terdahulu- sebagai suatu upaya untuk meminimalisir kejahatan atau sebagai suatu bentuk usaha untuk menolak kemafsadatan yang lebih besar dengan menempuh kemafsadatan yang lebih kecil sebagaimana yang dikatakan oleh para fuqaha’.

Sola ketiga : Apakah hukum keluarnya kaum wanita untuk turut serta dalam pemilihan umum ?

Jawaban : Dibolehkan bagi mereka untuk keluar dengan syarat yang telah diketahui bersama yang harus mereka penuhi, yaitu mengenakan jilbab yang syar’I dan tidak bercampur baur (ikhthilath) dengan kaum pria. Ini yang pertama.

Kemudian mereka hendaknya memilih orang yang paling dekat kepada manhaj ilmu yang shahih sebagai suatu upaya untuk menolak kemafsadatan yang lebih besar dengan menempuh kemafsadatan yang lebih kecil sebagaimana telah dijelaskan.

( Fatwa ini adalah bagian dari faksimili yang dikirimkan oleh Syekh Muhammad Nashiruddin Al Albany kepada Partai FIS Aljazair, tertanggal 19 Jumadil Akhirah 1412 H. Dimuat di majalah Al Ashalah edisi 4 hal 15-22. Sedangkan terjemahan ini diambil dari kitab Madarik An Nazhar Fi As Siyasah hal. 340-341 ) .

Fatwa Syekh ‘Abdul ‘Aziz ibn Baz –rahimahullah- Tentang Dewan / Majelis Legislatif

Soal : Banyak penuntut ilmu syar’I yang bertanya-tanya tentang hukum masuknya para du’at dan ulama ke dalam dewan legislatif dan parlemen, serta turut serta dalam pemilihan umum di negara yang tidak menjalankan syari’at Allah. Maka apakah batasan untuk hal ini ?

Jawab : Masuk ke dalam parlemen dan dean legislatif adalah sangat berbahaya. Masuk ke dalamnya sangatlah berbahaya. Akan tetapi barang siapa yang masuk ke dalamnya dengan landasan ilmu dan pijakan yang kuat, bertujuan menegakkan yang haq dan mengarahkan manusia kepada kebaikan serta menghambat kebatilan, tujuan utamanya bukan untuk kepentingan dunia atau ketamakan terhadap harta, ia masuk benar-benar hanya untuk menolong agama Allah, memperjuangkan yang haq dan mencegah kebatilan, dengan niat baik seperti ini, maka saya memandang tidak mengapa melakukan hal itu, bahkan seyogyanya dilakukan agar dewan dan majelis seperti itu tidak kosong dari kebaikan dan pendukung-pendukungnya. (Ini) iila ia masuk (dalam perlemen) dengan niat seperti ini dan ia mempunyai pijakan yang kuat agar ia dapat memperjuangkan dan meMpertahankan yang haq serta menyerukan untuk meninggalkan kebatilan. Mudah-mudahan Allah memberikan manfa’at dengannya hingga (dewan) itu dapat menerapkan syari’at (Allah). Dengan niat dan maksud seperti ini disertai ilmu dan pijakan yang kuat, maka Allah Jalla wa ‘Ala akan memberinya balasan atas usaha ini.

Akan tetapi jika ia masuk ke dalamnya dengan tujuan duniawi atau ketamakan untuk mendapatkan kedudukan, maka tidak diperbolehkan. Sebab ia harus masuk dengan niat mengharapkan Wajah Allah dan negeri Akhirat, memperjuangkan dan menjelaskan yang haq dengan dalil-dalilnya agar semoga saja dewan dan majelis itu mau kembali dan bertaubat kepada Allah.

(Fatwa ini dimuat dalam majalah Al Ishlah edisi 242-27 Dzulhijjah 1413 H/23 Juni 1993 M. Adapun terjemahan ini dinukil dari buku Ash Shulhu Khair terbitan Jama’ah Anshar As Sunnah Al Muhammadiyah di Sudan).

Fatwa Syekh Muhammad Ibn Shaleih Al ‘Utsaimin –rahimahullah- Tentang Hukum Masuk Ke Dalam Parlemen

Soal : Fadhilah Asy Syekh –semoga Allah senantiasa menjaga Anda-, tentang masuk ke dalam majelis legislatif padahal negara itu tidak menerapkan syari’at Allah dengan sempurna, bagaimana pandangan Anda tentang masalah ini –semoga Allah senantiasa menjaga Anda- ?

Jawaban : Kami telah pernah menjawab pertanyaan serupa beberapa waktu lalu, yaitu bahwa sudah seharusnya (ada yang) masuk dan turut serta dalam pemerintahan. Dan hendaknya seseorang dengan masuknya ia ke dalam pemerintahan meniatkannya untuk melakukan perbaikan bukan untuk menyetujui setiap keputusan yang dikeluarkan. Dan dalam kondisi seperti ini, bila ia menemukan sesuatu yang menyelisihi syari’at maka ia berusaha menolak / membantahnya. Walaupun pada kali pertama dia tidak banyak orang yang mengikuti dan mendukungnya, maka (ia mencoba terus) untuk kedua kalinya, atau (bila tidak berhasil pada ) bulan pertama, (maka ia mencoba lagi) pada kedua dan ketiga, atau (bila tidak berhasil) pada tahun pertama, (maka ia mencoba lagi) pada tahun kedua…maka di masa yang akan datang akan ada pengaruh yang baik.

Namun jika (pemerintahan) itu dibiarkan lalu kesempatan itu diberikan kepada orang-orang yang jauh dari (cita-cita) penerapan syari’at maka ini adalah sebuah kelalaian yang besar yang tidak seharusnya seseorang itu memiliki / melakukannya.

(Fatwa ini dimuat dalam majalah Al Furqan edisi 42-Rabi’ Ats Tsani 1414 H/Oktober 1993 M. Adapun terjemahan ini diambil dari buku Ash Shulhu Khair terbitan Jama’ah Anshar As Sunnah Al Muhammadiyah di Sudan).

Fatwa Syekh Shalih Al Fauzan –hafizhahullah- Seputar Menjadi Anggota Parlemen

Soal : Bagaimana hukum menjadi anggota parlemen ?

Jawaban : Apa yang akan terealisasi dengan masuknya ia menjadi anggota parlemen ? Kemashlahatan bagi kaum muslimin ? Bila hal itu berdampak bagi kemashlahatan kaum muslimin dan mengupayakan perubahan terhadap parlemen itu menuju Islam, maka ini adalah perkara yang baik. Setidak-tidaknya mengurangi bahaya / kemudharatan bagi kaum muslimin dan mendapatkan sebagian kemashlahatan jika tidak memungkinkan meraih semua kemashlahatan, walaupun hanya sebagian saja.

Soal : Tapi hal itu terkadang mengharuskan seseorang untuk mengorbankan beberapa hal yang ia yakini ?

Jawaban : Mengorbankan maksudnya melakukan tindakan kufur kepada Allah atau apa ?

(Yang hadir menjawab ) : Mengakuinya.

Jawaban : Tidak, pengakuan ini tidak boleh dilakukan. Yakni ia meninggalkan agamanya dengan alasan untuk berda’wah ke jalan Allah, ini tidak benar. Bila mereka tidak mempersyaratkan ia harus mengakui hal-hal (yang kufur) itu dan ia tetap berada di atas keislamannya, aqidah dan diennya, lalu dengan masuknya ia (dalam parlemen) terdapat kemashlahatan bagi kaum muslimin, dan bila mereka tidak mau menerimanya, ia pun meninggalkan mereka ; apa yang akan ia lakukan ? Memaksa mereka ? Tidak mungkin memaksa mereka. Yusuf –’alaihissalam- masuk ke dalam jajaran kementrian seorang raja di zamannya, lalu apa yang terjadi ? Anda sekalian tahu atau tidak apa yang terjadi pada Nabi Yusuf -’alaihissalam- ? Apa yang dilakukan Yusuf ketika beliau masuk ? Ketika sang raja mengatakan bahwa engkau hari ini telah menjadi orang yang terpercaya dan memiliki posisi kuat dalam pandangan kami, maka beliau mengatakan : “Angkatlah aku sebagai bendaharawan negara, sebab saya adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” Lalu kemudian beliaupun masuk (ke pemerintahan) hingga akhirnya kekuasaanpun berada di tangan Yusuf –’alaihissalam-. Beliau kemudian menjadi raja Mesir. Salah seorang nabi Allah menjadi raja Mesir.

Maka bila masuknya ia akan mendatangkan hasil yang baik maka ia hendaknya masuk. Namun jika hanya sekedar untuk menerima dan tunduk kepada apa yang mereka inginkan, dan tidak ada kemashlahatan bagi kaum muslimin dengan masuknya ia maka ia tidak dibolehkan untuk menjadi anggota parlemen. Para ulama mengatakan “Mendatangkan mashlahat atau menyempurnakannya”, artinya bila mashlahat itu tidak dapat diraih seluruhnya, maka tidak apa-apa walaupun hanya sebagian yang dapat dicapai, dengan syarat tidak menyebabkan terjadinya kemafsadatan yang lebih besar.

(Para ulama) mengatakan bahwa Islam datang untuk meraih kemashlahatan dan menyempurnakanya, serta menolak kemafsadatan dan menguranginya. Artinya bila kemafsadatan itu tidak dapat ditolak seluruhnya, maka setidaknya ia berkurang dan lebih ringan. (Dengan kata lain) menempuh kemudharatan yang paling ringan di antara dua kemudharatan demi mencegah terjadinya kemudharatan yang lebih besar.

Ini semua bergantung pada maksud dan niatnya serta hasil yang akan dicapai. Dan bila masuknya ia sebagai anggota parlemen hanya karena ketamakan pada kekuasaan dan harta, lalu kemudian mendiamkan (kebatilan) dan menyetujui (kebatilan) yang mereka kerjakan maka ini tidak diperbolehkan. Dan bila masuknya mereka demi kemashlahatan kaum muslmin dan da’wah ke jalan Allah –sehingga semuanya dapat bepangkal pada kebaikan kaum muslimin- maka ini adalah perkara yang harus dilakukan, tentu saja bila tidak mengakibatkan ia harus mengakui kekufuran. Sebab bila demikian maka ini tidak dibolehkan. Tidak dibenarkan mengakui kekufuran walaupun dengan tujuan yang mulia. Seseorang tidak boleh menjadi kafir lalu mengatakan bahwa tujuan saya adalah mulia, saya ingin berda’wah ke jalan Allah ; ini tidak diperbolehkan.

(Fatwa ini berasal dari sebuah kaset yang direkam dari Syekh, lalu dimuat dalam buku Ash Shulhu Khair terbitan Jama’ah Anshar As Sunnah Al Muhammadiyah di Sudan).

Tidak ada komentar: